Dari arah lobby hotel, kulihat seorang perempuan berjalan dikawal dua orang berbadan tegap. Ia sungguh anggun dengan dress formal biru tua. "Oh Tuhan, itu Dinar!"Â
Kecantikannya tak berubah. Malah kian bertambah dengan pakaian mewah. Dan mana bisa aku lupa, hidung mancung, mata bening, dan bibir tipisnya.Â
Berkali-kali kuusap mata, ia memang benar-benar Dinar. Degup jantungku tak dapat menyembunyikan kesenangan. Tubuhku gemetar, dan air mata menunggu tumpah. Namun seketika, timbul keraguan. Ia sudah jadi orang kaya sekarang. "Apa yang harus kulakukan?"Â
Kubuka pintu mobilnya, kutatap Dinar dan berharap ia menyapa. Hingga semakin dekat, dan aku kecewa. Dinar benar-benar sudah lupa padaku. Kedua bola matanya, bahkan tak sempat melirik ke arahku. Pintu tertutup, dan mulutku terkunci.Â
Ribuan pertanyaan menghantam kepala. Benarkah kekayaan dapat mengubah sifat seseorang? Benarkah semua kenangan masa lalu dapat terhapus semudah itu?Â
Dengan perasaan kesal, aku kembali ke tempatku. Di depan lobby hotel. Menanti kedatangan tamu-tamu lain. Memasang senyum kembali, dan terpaku. "Mungkin masa lalu terlalu pahit untuk kau ingat, Dinar."
Dari meja reseptionis, kudengar seseorang memanggilku. Biasanya, hanya denting bell berbunyi. Kuberlari dan menghampiri lelaki berjas hitam. Ia manajer hotel ini.Â
Dimas, ini ada titipan amplop dari tamu barusan. Dia bilang, kamu saudaranya.Â
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H