Pernah ia sobek roti miliknya, dan diberikan kepada seekor kucing. Sayang, kucing itu hanya mengendus dan berlalu. Ia kemudian menatapku yang masih terlihat lapar. Dan menyuapkan potongan roti itu ke dalam mulutku.Â
Dinar gadis yang cantik. Konon ayahnya berasal dari timur tengah atau India. Mendiang ibunya masih ada keturunan Eropa. Mungkin saja, karena paras wajahnya memang berbeda. Dan hal itu, baru kusadari saat kami beranjak remaja.
"Dinar, bagaimana kalau kita pacaran saja?"Â
"Boleh, tetapi kau harus punya uang banyak, Dimas!"
Deru sirine menenggelamkan lamunanku semakin dalam. Di mana sebuah peristiwa, telah memisahkan kami untuk selamanya. Kebakaran hebat telah melahap seluruh pemukiman. Gulungan api berkobar-kobar. Asap hitam. Dan teriakan-teriakan histeris.
Kuberlari dan mencari Dinar. Ia lebih berarti dari rumahku yang terbakar. Namun sampai tengah malam, api belum juga padam. Ia tak dapat kutemukan. Lemas dan pasrah. Dan aku mengutuk peristiwa itu sampai hari ini.Â
Malam itu, aku merasa hidupku hancur. Kehilangan tempat tinggal, keluarga dan teman. Kehidupan memaksaku, mendaki dari lubang yang lebih dalam.
Dua tahun setelahnya, salah seorang bekas tetanggaku dahulu, memberi kabar. Bahwa Dinar masih hidup. Ia sudah pergi dari kota ini, sebelum kebakaran itu terjadi. Namun semuanya sudah tak berarti. Menata ulang kehidupanku, jauh lebih penting saat itu.Â
Dinar memang pernah berkata, "Bila aku pergi dari kota ini, apakah kau mau ikut?"Â
Denting bel berbunyi, dan lamunanku terhenti. Resepsionis memintaku melepas tamu-tamu yang selesai melaksanakan seminar. Bellboy baru hanya ditugaskan di selasar. Membuka, dan menutup pintu mobil, serta membawakan barang-barang.Â
Mobil mewah berwarna putih ini pasti milik pengisi acara. Ini mobil terakhir dari peserta seminar. Kulihat sopirnya memakai pakaian safari. Dan kuterka, pemiliknya bukan orang sembarangan. Entah pejabat, artis, atau konglomerat.Â