Kami takkan meninggalkan kota ini, apapun yang terjadi. Kemiskinan tak selalu karena kemalasan. Bisa jadi, tangan-tangan culas telah menutup rezeki kami. Dan merenggut kesempatan yang tengah diperjuangkan.
Aku berdiri di selasar hotel bintang lima. Mengenakan jas merah, rambut disisir rapih, dan memakai sepatu mengkilap. Menatap jalanan yang sudah berbeda. Dahulu hanya ada dua lajur jalan, kini ada empat lajur dan jembatan penyeberangan di atasnya.Â
Kemajuan di kota ini kian cepat. Namun masih ada yang berjalan lambat. Di bawah jembatan penyeberangan, kulihat seorang anak bersandar pada tiang listrik. Di atas punggungnya, ia memikul karung berisi botol-botol bekas air mineral.Â
Dan pemandangan itu, menjeratku pada lamunan masa lalu. Di mana aku pernah terjebak pada kondisi yang sama. Mungkin lebih menderita. Mungkin tidak. Masalah setiap orang berbeda-beda, bukan?
Namun saat itu, aku tidak sendiri. Ada seorang gadis kecil bernama Dinar yang setia menemani. Ia tak punya siapa-siapa, sebatang kara, dan mengurus diri sendiri sejak ibunya tiada.Â
Kami biasa menyusuri jalanan, dan pertokoan, dengan membawa kantong plastik atau karung. Memungut barang apapun yang dapat dijual kembali. Dan berjalan dari pagi, sampai sore hari.Â
Hingga menikmati sore yang dingin di atas trotoar. Berbagi sepotong roti, dan secangkir teh hangat. Kami sering bertaruh, warna kendaraan apa yang paling banyak melintas. Kemudian menertawakan hal-hal receh di tepi jalan.Â
"Kau sudah bisa menulis dan membaca, Dimas?" tanya Dinar.Â
"Belum, tapi aku paham menghitung uang," jawabku.Â
Dan satu yang paling kuingat, ia sangat penyayang. Kondisi sulit, tak membuatnya pelit. Kehidupan yang keras, tidak membuatnya beringas.Â