Mentari membakar debu-debu terhempas angin. Hiruk-pikuk pasar Angkasa mulai ramai. Pedagang kembali bergairah. Dan pembeli datang silih berganti. Di kedai nasi beratap terpal, seorang lelaki sedang sibuk menikmati makan siang.Â
Mulutnya menguyah cepat. Kedua mata, menatap curiga pada seekor kucing, dan burung gagak. Karena, siapa pun tak boleh merebut makanan itu darinya. Bahkan, seekor lalat takkan menemukan sebutir nasi sisa di bekas piringnya.Â
Lelaki itu bernama Arjuna. Ia hanya mau dipanggil Juna. Di pasar ini, kami mengenalnya sebagai kuli angkut barang. Meski pun penampilannya lebih mirip salesman. Rambut disisir rapi. Dan baju di masukkan ke dalam celana.Â
Pertama kali aku mengenalnya, jelas aku menjaga jarak. Karena saat kusapa, ia tak pernah menjawab. Orang-orang bahkan menyilang jari di kening, bila melirik ke arahnya. "Hati-hati, Mas!" ucap mereka.Â
Dan yang menyebalkan, ia menatapku curiga saat antri membayar. Matanya menyorot tajam, sembari menggenggam dompetnya di saku celana belakang. "Kau pikir aku copet!"Â
Berbeda bila SPG rokok yang datang, ia terlihat salah tingkah. Merapikan rambut atau berteriak memesan kopi. Matanya melirik kanan kiri. Kadang tersenyum, dan kadang bersikap dingin, seolah mencari perhatian dan ingin dihampiri.Â
Namun ada hal yang membuatku terkesan. Arjuna tak pernah mencatat kasbon. Ia tak pernah berhutang, lazimnya orang-orang di wilayah ini. Para pekerja informal tak kenal tanggal muda atau gajian. "Dapat uang, bayar. Belum dapat, ya mencatat."Â
Suatu hari, Arjuna tampak mengobrol dengan seseorang di kedai. Mereka terlihat baik-baik saja. Hingga orang yang tadinya terlihat merengek padanya, tiba-tiba mengamuk dan histeris.Â
Dia membalik meja dan memaki dengan kata-kata kasar. Namun Arjuna terlihat tenang-tenang saja.Â
Hingga pemilik kedai menyeret orang tersebut keluar. Dan keadaan kembali tenang. Kuberanikan diri mengambil duduk di depannya. Kami pun mulai mengobrol meski terbata-bata.Â
"Aku selalu bermasalah dengan pengidap penyakit mental," ucapnya.Â
"Kukira kau mengidapnya juga?"Â
"Bodoh," umpatan itu keluar untuk dirinya sendiri.Â
"Berikan contohnya?" tanyaku.Â
"Orang tadi bernama Dimin, ia sering sekali meminjam uang..."
Merasa jawabannya ngawur, aku menyela dengan berkata, "Meminjam uang bukan penyakit mental, Juna!"Â
"Benarkah? Lantas kenapa saat kutagih, ia tak pernah mengakui meminjam uang dariku. Kuterka, ia mengidap gangguan identitas disosiatif."Â
Kali ini, Juna membuatku menelan ludah. Kata-kata itu terlalu intelek untuk seorang kuli panggul. "Oh, darimana kau tahu istilah itu?"Â
Arjuna terdiam sesaat, ia lalu mengangkat kedua bahunya seraya berkata, "Tak tahu, istilah itu tiba-tiba terbersit di kepalaku."Â
Setelah kejadian itu, aku dibuat penasaran tentang siapa Arjuna sebenarnya.
Di suatu sore, kulihat Arjuna tengah khusyuk membaca di lapak buku bekas. Deru truk sampah, dan kendaraan yang lalu-lalang, tak membuatnya terganggu.Â
Dia bahkan tak menjawab sapaanku. Kerutan di keningku semakin berlipat. Penasaran bercampur heran. Arjuna sungguh ajaib.Â
"Lae, suruh beli itu buku. Ini lapak bukan perpustakaan," aku bergurau untuk menarik perhatiannya.Â
"Sttt..." Lae Togar pemilik lapak, buru-buru menghentikanku. Telunjuk di depan mulutnya, pertanda memintaku diam.Â
"Dia sedang fokus. Nanti buyar pikirannya," Lae Togar berbisik padaku.Â
Lae Togar kemudian mengajakku ke kedai kopi di depan lapaknya. Ia memesan dua kopi hitam. Setelah berbasa-basi, akhirnya kubertanya soal Arjuna. Karena sepertinya, ia tahu banyak soal lelaki itu.Â
"Kau boleh sebut aku sinting, tetapi Arjuna itu benar-benar orang suci. Dia datang dari masa depan."Â
"Konyol!" ucapku tak percaya.Â
"Kau tahu? sewaktu bengkelku kebakaran. Dia bilang, tak perlu di bangun lagi. Toh, wabah bakal bikin pasar ini sepi!" terangnya.
Lae Togar menenggak kopi sekali habis. Ia kembali berkata, "Tiga tahun lalu, di pos jaga, sewaktu kami menonton piala dunia. Dia pernah bilang, Kroasia bakal tembus final, tetapi juaranya Perancis!"Â
Aku semakin tak percaya, prediksi macam itu mudah ditemui di majalah olahraga. Dan soal wabah atau pandemi. Itu semua hanya kebetulan saja. Lae Togar memang suka bicara berlebihan.
Kulihat Arjuna masih terpaku membaca buku. Hingga Ia menutup bukunya dan berkata, "Buang barang itu, atau nanti kau kena tangkap!"Â
"Edan!" Aku mengumpat padanya, ucapannya membuatku tak nyaman. Bisa-bisa, aku linglung seperti dia.Â
Kuberanjak, karena hari menjelang malam. Di parkiran pasar, ramai orang membicarakan razia kendaraan. Maka kuambil helm di motor sebelah. "Pinjam dulu, Bang!"Â
Namun tiba-tiba, aku teringat ucapan Arjuna. Hingga kumatikan mesin motor di depan gerbang pasar. Dan membuang dompet kulit bergaris emas yang kucopet kemarin malam.Â
***
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI