"Kau jangan terlalu naif, Bejo! Menikah itu bukan cuma modal cinta. Kalian harus benar-benar saling mengenal, agar kelak tidak sama-sama menyesal!"Â
Hanifah memang sok tahu. Ia bertingkah seolah meragukan keputusanku. Tadinya kupikir, bercerita kepada teman-teman dapat mengurangi ketegangan menjelang lamaran. Namun ternyata, tak ada satupun  yang berusaha membuatku lebih bersemangat.Â
Badi, Hanifah, Lintang dan Bayu. Mereka sepertinya belum mengerti, seorang lelaki pantang menarik kata-katanya. Ikatan cinta dan kasih sayang itu sakral. Bukan main-main. Dan sebuah komitmen, harus lekas diikat dengan cincin kawin.Â
Badi kerap membenturkan kisah cintanya yang kandas dengan kisah cintaku. Ia bilang aku harus hati-hati bermain hati. Baginya frasa jatuh cinta adalah terjatuh dan sakit. Mencintai berarti siap menderita. Mungkin aku naif, tetapi tak bodoh.Â
Dan aku tahu, Badi tak pernah mencoba bangkit dari keterpurukannya di masa lalu. Membiarkan cerita itu lekat dengan dirinya. Semacam penyintas putus cinta yang putus asa. Menghibur diri dengan bercerita.Â
Berbeda dengan Bayu yang tak pernah berhenti mengeluhkan hal yang sama. Berulang-ulang. Membosankan. Baginya, meraih cita-cita yang belum kesampaian, lebih penting dari urusan mencari pasangan. Padahal masalahnya cuma satu, yakni dirinya sendiri.Â
Sementara Lintang terlalu penakut untuk menjalin hubungan serius. Kutahu ia tengah dekat dengan seseorang. Namun masih terkesan tarik-ulur. Banyak pertimbangan. Mungkin ia menganggap cinta adalah permainan. Dan ia tak mau kalah.Â
Dan Hanifah berbicara seakan-akan ia mahir dalam urusan asmara. Padahal kutahu pasti, ocehannya cuma teori. Hubungan jarak jauh dengan kekasihnya di Hongkong sudah tak terdengar lagi. Entah digantung atau tercekik, senyap.
Kuteguk kopi hitam sekali habis. Mengakhiri kebersamaan kami malam itu. Dinda adalah pilihan terbaik. Dan tidak seorangpun boleh mengubahnya.Â
Memang mereka lebih lama mengenalku. Namun ternyata, itu semua belum cukup untuk memahami perasaanku saat ini.Â