Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Titik Balik

10 Oktober 2021   11:03 Diperbarui: 10 Oktober 2021   11:04 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sepasang kekasih memandang jembatan Tyne (Gambar latar: ArtsyBee/ Gambar figur: Saydung89 Via Pixabay)

Ratu Guinevere terbebas dari kejahatan Maleagant berkat kepahlawanan Lancelot. Ksatria yang mengembalikan sang ratu ke Camelot. Meski kelak ia akan mengambilnya kembali. Dan membiarkan sang raja terluka akibat perbuatannya. 

Di cafe perpustakaan milik tuan Mark di sudut kota Newcastle. Denting bel dari beranda tak berhenti berbunyi. Menjelang sore, ramai pengunjung menghabiskan waktu. Menikmati secangkir teh chamomile, mengobrol di beranda, atau membaca buku dalam keheningan. 

Kututup kisah Lancelot, Knight of the Cart dan melangkah keluar. Meninggalkan beberapa koin poundsterling di meja kasir. Bibi Beth mengucapkan terima kasih, dan mempersilahkan tamu lainnya mengambil duduk di meja yang kutinggalkan. 

Langkah-langkah kecil membawaku ke Northumberland street. Menggenapkan janji pada Sekar untuk menikmati suasana senja yang becermin di aliran sungai Tyne.

Dua hari lalu, ia berpesan agar menemuinya di atas jembatan Swing. Mengisi hari-hari terakhirnya di UK dengan kenangan manis. Kutahu ada kegelisahan yang akan ia tumpahkan. Tentang hubungan kami yang kian tak pasti. 

"Adhi, aku disini!" Sekar melambai dan tersenyum ke arahku. Binar matanya setenang senja. Desir angin mengibaskan rambutnya. Hitam terurai. Di sore yang bersahaja. Dan waktu seakan terhenti. 

Hingga jemarinya menyentuh jemariku. Dan Memberi kehangatan pada jiwa yang beku. Ia kembali tersenyum. Lalu kami melangkah berdua tanpa kata-kata. 

Dua hati tanpa sekat, tak memerlukan kata-kata untuk berbicara. Tatapan, bisikan dan senyuman, adalah bahasa terbaik yang kami miliki saat ini. 

Mengisi masa bersama, dan menjalin kasih sayang dalam senyap. Menikmati semua kisah indah di bawah langit mendung. Tak pernah ada rasa jenuh. Kecuali rasa bersalah, yang kerap membuatku berat untuk melangkah. 

Sekar menatap ke arah jembatan Tyne. Menemukan bingkai senja yang tepat untuk dipotret. Ia mengarahkan kamera, lalu berkata, "Kau tahu Adhi, mungkin aku takkan kembali." 

"Kau berharap aku pulang?" ucapku. 

Kugenggam jemarinya. Menyeret ingatan pada peristiwa masa silam, yang membuat kami terdampar pada kisah kasih tanpa harapan. Tanpa ratapan. Dan bergulir dalam topeng kepalsuan. 

Tiga tahun lalu, hidupku tengah berada pada titik nadir. Rumah tangga yang baru terjalin, hancur berantakan. Bisnisku kandas, dan kehidupan seakan tak berarti. Depresi menjeratku pada gelap malam. 

Hingga suatu ketika, aku mulai bosan menghabiskan malam-malam dengan berteriak dan meratap. Kuputuskan mengakhiri semuanya. Dan melepaskan belenggu kehidupan dari dunia yang tak adil. 

Dari atas jembatan merah, Jakarta tak lagi indah. Kuhempaskan kekesalan pada langit malam dan menutup mata. Menghapus wajah-wajah penuh benci dan kata-kata yang mengoyak harga diri. 

Namun belum sempat kuraih pagar pembatas, isak tangis terdengar memecah keheningan. Di tepi jembatan, seorang perempuan tengah melakukan hal yang sama sepertiku. Mencoba mengakhiri hidup dengan menjatuhkan diri ke bawah sana. 

Entah dorongan apa yang membuatku berlari menjelangnya. Kuterjang tubuh perempuan itu, tepat selangkah lagi ia melayang. Tangisan seketika pecah. Dan aku tak mengerti harus berbuat apa.

Malam itu kami memenangkan diri di sebuah kedai. Memesan teh hangat dan berusaha mengatur nafas. Kami saling berpandangan dalam keheningan. Dia cantik. Namun garis air matanya masih membekas. 

"Maukah kau mengantarku pulang?" 

Kata-kata itu mengawali semuanya. Membuka kisah berdua. Mesra. Duniaku teralihkan. Dan hidupku menemukan tambatan. Di batas dahaga, Sekar adalah mata air untuk jiwaku. 

Dan gairah hidup kembali bersemi. Hari berikutnya, kukemas rasa sakit dan mengalihkannya pada masa depan. 

Hingga suatu hari, aku membawa semua berkas dan melangkah memasuki gedung perkantoran. Mengibarkan bendera putih dan meminta pekerjaan pada Boyke sahabat karibku. Ia menyambutku dengan tawa. Menerimaku dengan tangan terbuka. 

"Adhi, kau datang di saat yang tepat. Aku memang membutuhkan bantuanmu!" 

"Akan kulakukan yang terbaik, apapun itu, Boy." 

Boyke mulai bercerita tentang bisnisnya. Meski tak ada slot yang kosong untuk posisi yang kuinginkan. Namun ia memberikan jalan keluar. Aku diminta membantu cabang bisnisnya di luar negeri. 

Dan yang paling mengejutkan, ia rela menjadi sponsor pendidikanku di sana. Hal itu benar-benar di luar ekpektasi. Entah dengan apa aku dapat membalas segala kebaikannya.

Impian lama yang kuabaikan. Boyke tahu aku takkan keberatan. Keberhasilan usaha di masa lalu, membuatku mengabaikan pendidikan, dan fokus mengurus bisnis.

Dahulu kami terpisah, kala itu aku memutuskan berhenti dari pendidikan di Australia. Dia sempat menahanku. Dan kini semua yang dikatakannya menjadi nyata. 

Dan tak cukup sampai di situ, Boyke kembali memberi kejutan. Namun kali ini tak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Dan aku menyanggupi sebuah misi rahasia. Mengawasi tunangannya yang menempuh pendidikan di London.

"Adhi, kami saling mencintai, tetapi sesuatu yang rumit selalu menunda pernikahan kami." 

Hari di mana aku berniat pamit pada Sekar, ia sudah lebih dulu meninggalkan Indonesia. Dan aku merasa patah hati. Namun hal itu hanya berlangsung sementara. 

Di bandara, Boyke memberikan sebuah berkas berisi data dan alamat tunangannya. Dan aku ditempatkan tak jauh dari kota tempatnya tinggal. 

Dua buah foto dan buku catatan. Kutahu kenyataan pahit kembali menyapa. "Sekar, kau menyembunyikan sesuatu." 

Lembayung senja memudar bersama awan hitam, berganti cahaya lampu-lampu kota yang menari menyambut malam. Dan kami masih terpaku menatap langit. 

"Kau tahu, Adhi. Kita bisa mengakhiri semuanya ke bawah sana. Tepat seperti pertama kali kita berjumpa." 

"Mengakhiri semuanya? Kita bahkan tidak pernah memulai apapun, Sekar." 

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun