"Kau berharap aku pulang?" ucapku.Â
Kugenggam jemarinya. Menyeret ingatan pada peristiwa masa silam, yang membuat kami terdampar pada kisah kasih tanpa harapan. Tanpa ratapan. Dan bergulir dalam topeng kepalsuan.Â
Tiga tahun lalu, hidupku tengah berada pada titik nadir. Rumah tangga yang baru terjalin, hancur berantakan. Bisnisku kandas, dan kehidupan seakan tak berarti. Depresi menjeratku pada gelap malam.Â
Hingga suatu ketika, aku mulai bosan menghabiskan malam-malam dengan berteriak dan meratap. Kuputuskan mengakhiri semuanya. Dan melepaskan belenggu kehidupan dari dunia yang tak adil.Â
Dari atas jembatan merah, Jakarta tak lagi indah. Kuhempaskan kekesalan pada langit malam dan menutup mata. Menghapus wajah-wajah penuh benci dan kata-kata yang mengoyak harga diri.Â
Namun belum sempat kuraih pagar pembatas, isak tangis terdengar memecah keheningan. Di tepi jembatan, seorang perempuan tengah melakukan hal yang sama sepertiku. Mencoba mengakhiri hidup dengan menjatuhkan diri ke bawah sana.Â
Entah dorongan apa yang membuatku berlari menjelangnya. Kuterjang tubuh perempuan itu, tepat selangkah lagi ia melayang. Tangisan seketika pecah. Dan aku tak mengerti harus berbuat apa.
Malam itu kami memenangkan diri di sebuah kedai. Memesan teh hangat dan berusaha mengatur nafas. Kami saling berpandangan dalam keheningan. Dia cantik. Namun garis air matanya masih membekas.Â
"Maukah kau mengantarku pulang?"Â
Kata-kata itu mengawali semuanya. Membuka kisah berdua. Mesra. Duniaku teralihkan. Dan hidupku menemukan tambatan. Di batas dahaga, Sekar adalah mata air untuk jiwaku.Â
Dan gairah hidup kembali bersemi. Hari berikutnya, kukemas rasa sakit dan mengalihkannya pada masa depan.Â