"Ibu mau berhenti di stasiun mana?" Kupikir kondisi perempuan itu tak stabil dan membutuhkan bantuan.Â
"Tangerang, Mas. Panggil saja Mey, tak perlu panggil Ibu. Dan saya baik-baik saja," ucapnya.Â
Di hari yang sama, aku melihat Tante Mey berkunjung ke sebuah panti asuhan. Aku tak menyangka akan bertemu lagi dengannya. Ia tidak menyadari kehadiranku. Dan aku tak sengaja mencuri dengar pembicaraannya dengan pengurus panti.Â
Sejak hari itu, kami lebih sering bertemu di kereta. Meski tak cukup akrab, tetapi kami terbiasa saling menyapa dan sesekali bercengkrama. Bagiku sangat berkesan. Kehadirannya membuat perjalanan lebih bermakna. Dan baginya, aku adalah teman seperjalanan yang menyenangkan.Â
Dari cerita-cerita singkat sepanjang perjalanan, kutahu kehidupan Tante Mey sangat pelik. Menghabiskan waktu di atas rel untuk bekerja sebagai kasir di mini market di Jakarta. Dan di akhir pekan, ia bekerja di binatu milik temannya.Â
Hari-hari dijalani untuk bertahan hidup. Bahkan upahnya tak cukup untuk membeli sekotak bedak dan tabir surya. Ia membutuhkannya. Mata panda dan kerutan di wajahnya tak lagi terlihat samar.Â
"Kamu tahu, kenapa saya suka nangis di kereta?" ucapnya.Â
"Melihat pemandangan di luar kereta yang masih sama, kumuh dan kotor?" kucoba menerka.Â
"Saya telah lama keluar dari tempat itu, Mas." Dan ia pun tertawa. Matanya kembali menatap keluar jendela. Begitu sayu dan tenang. Di hari itu, aku larut dalam dunianya.Â
"Kopi mana kopi!" Hasratku memaksa beranjak keluar rumah. Membenamkan lamunan dalam-dalam. Hingga malam membimbing langkahku ke sebuah cafe di sekitar Pasar Lama. Memilih meja dan memesan secangkir espreso.Â
Di meja sebelah, sepasang kekasih terdengar mesra. Isak tangis berbalas kata-kata bijak. Mereka membuka diri satu sama lain, mencurahkan segala rahasia. Dan aku mengenali suara itu.