Meski, obrolan kami layaknya kanebo kering. Karena memang, kami tak pernah saling membuka diri.Â
Ratih bahkan bukan penyebab hubunganku dan Marie Anne terputus. Layaknya film tentang drama perjodohan yang berakhir tragis. Ia sama sekali tak pernah mengambil peran antagonis.Â
"Temui aku di Reims saja nanti, sampai akhir bulan aku tidak berada di Paris."Â
"Tentu, aku tak berharap punya kenangan bersamamu di Eiffel," jawabnya.Â
Respon Ratih cukup membuatku terhibur. Tak boleh ada kisah lain yang akan mengganggu studi berhargaku di negeri orang. Tujuanku ke sini adalah belajar.
Namun darah muda selalu mencari celah untuk sebuah petualangan. Pertemuan tak sengaja dengan perempuan yang menarik, ternyata meninggalkan bekas mendalam.Â
Kereta melaju cepat, pandanganku masih sempat menikmati suasana luar kota Paris yang tak terlalu padat. Hingga melintasi sungai Marne, anganku melayang pada suasana musim semi di tahun lalu.Â
Puluhan demonstran terlihat membawa pamplet dan spanduk di pelataran Place de la République. Mereka mengangkat isu tentang perubahan iklim. Kerumunan itu membuatku penasaran.
Seperti kebanyakan mahasiswa asing di negeri orang, aku tidak pernah mau ikut dalam aktivitas protes, terlebih soal politik. Namun lain soal, bila itu terkait perubahan iklim. Paling tidak, sekedar menunjukkan dukungan.Â
Marie Anne, demonstran perempuan yang berdiri di barisan depan. Ia menarik perhatianku. Membuatku mengabaikan beberapa sosok perempuan bertelanjang dada di sebelahnya.Â
Dan hari itu aku terpesona pada sorot matanya yang berwarna biru. Paras cantiknya terlihat serius. Meski kutahu ia acap kali mengumpat di depan petugas keamanan. Namun di mataku, ia begitu anggun dan berkarakter.Â