Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sebuah Harga Diri

4 Agustus 2021   11:39 Diperbarui: 6 Agustus 2021   13:26 1842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sepeda tua terparkir di sebuah gang (Foto: Nguyenhuynhmai Via Pixabay)

Bel berdentang tiga kali. Murid-murid mungil berseragam merah putih, berhamburan keluar kelas. Riuh tawa dan canda. Keceriaan menyelimuti sekolah. Disambut senyuman orangtua siswa di depan gerbang.

Kegembiraan bagi Kang Ujang, penjual cilok di depan pagar sekolah dasar. Pelanggan selalu berdatangan di waktu istirahat dan pulang. Dagangan satu panci, habis dalam sehari. Menjelang sore, mengayuh sepeda pulang ke rumah. 

Dentang bel, begitu menyenangkan. Namun masa-masa berkesan telah lama berlalu. Dua tahun sejak pandemi melanda, Kang Ujang berhenti berjualan di depan sekolah. Tidak ada panci di belakang sepeda. Berkeliling pun, pembeli tak ada yang keluar rumah. 

Kini hanya sang istri yang berjualan kupat tahu di pagi hari. Meski sesekali, Kang Ujang mendapat pesanan cilok mentah dari pedagang lain. Namun kebutuhan dapur semakin tinggi. Dan Kang Ujang harus mengambil pekerjaan tambahan.

"Pak, minta uang."

Sore itu, Kang Ujang bersiap berangkat kerja. Sepeda tua sudah dibersihkan.   Tiba-tiba anak bungsunya menyongsong dari balik pintu dan meminta uang jajan.

"Buat apa?" tanya Kang Ujang. 

"Beli cilok di Ceu Romlah," jawabnya polos. 

"Ceu Romlah ciloknya dari bapak. Biar bapak buat sendiri, nanti." Kang Ujang mencium kening sang anak dan beranjak pergi.

Kini, hari-hari Kang Ujang bertugas menjaga gedung kosong. Memastikan keamanan dan kebersihan. Meski upah hanya cukup untuk makan sehari-hari. Nasibnya lebih baik dari para pedagang lain di depan sekolah. Dan iapun bersyukur atas itu semua. 

Gedung kosong yang dijaga Kang Ujang, adalah bekas garmen yang gulung tikar akibat pandemi. Pasar kian sepi. Negara tujuan ekspor terkunci. Stok menumpuk di gudang. Terpaksa harus meliburkan semua karyawan. Dan akhirnya selesai. 

"Sekarang jaga di sini, Kang?" seseorang turun dari motornya dan menyapa Kang Ujang.

"Alhamdulillah, masih diberi rezeki," jawab Kang Ujang. 

Meski Kang Ujang tidak mengenalnya, tetapi ia mau bercengkrama dengan pria tersebut. Karena mantan karyawan garmen, seringkali mampir, dan memberinya minuman atau makanan kecil. 

Mereka biasanya mengenang masa-masa indah, saat bekerja di dalam sana. Berharap iklim usaha dapat kembali membaik. Dan tempat mereka bekerja akan kembali beroperasi. 

Malam itu, Kang Ujang berjaga sendiri. Pada pukul dua belas malam, ia memukul tiang listrik sampai berdentang dua belas kali. Kemudian kembali ke pos di luar pagar dan menyeduh kopi. Radio kecil pun dinyalakan untuk mengusir sepi. 

Sembari mendengarkan lagu lawas yang diputar radio lokal, ia melirik bungkusan berisi roti bakar. Pria yang singgah dan bercengkrama, memberikan makanan itu untuk Kang Ujang. 

Iapun menikmati roti bakar sambil bersenandung. Tembang kenangan dari Ebiet G. Ade bertajuk Berita Kepada Kawan membawa Kang Ujang menyelami masa silam. Perjuangan dan jalan hidup yang berliku-liku. 

Bukan hanya bel sekolah. Di awal usaha, ia sudah lekat dengan bunyi besi bertalu. Kala menjalani profesi sebagai pengrajin panci, tukang es doger dan tukang cilok di depan sekolah. Kini iapun memukul tiang listrik sebagai penanda waktu. 

Roti bakar belum habis, lagu lawas belum selesai. Namun Kang Ujang merasa sangat mengantuk. Ia akhirnya merebahkan diri di bangku panjang di luar pos jaga. Tak lama, iapun pulas dan bermimpi indah. 

Sebuah mobil colt buntung berhenti tepat di depan gedung. Seorang lelaki menghampiri pos jaga dan melihat Kang Ujang tertidur di sana. Terlihat ia melambaikan tangan, tanda situasi sudah aman. 

Empat orang lelaki tergesa-gesa membuka gerbang. Masuk ke gedung dan merusak gembok. Mereka mengambil beberapa bahan tersisa dan suku cadang mesin jahit. Menggasak barang yang dapat ditampung dalam bak mobil. 

Kejadian itu terhenti saat beberapa remaja hendak pergi ke masjid. Mereka berteriak memperingatkan. Beberapa remaja berlari mengejar. Namun laju mobil sang pencuri lebih cepat. 

"Bangun, Kang."

Adzan subuh berkumandang. Kang Ujang menggeliat dibangunkan seorang remaja. Ia terkesiap dan bertambah kaget. Mengetahui gedung yang dijaga, sudah dibobol maling. Kepala Kang Ujang terasa berat dan matanya berkunang-kunang. 

Kang Ujang tak dapat berkata-kata. Hancur sudah reputasi. Dalam hatinya meminta ampunan Tuhan. Amanah yang diemban, tercela oleh sebuah pemberian. 

Keesokan hari, Kang Ujang dan pemilik gedung melaporkan kejadian ke pihak berwenang. Kang Ujang menerangkan secara detail, ciri-ciri pria yang memberikannya makanan. Ia berharap, pelaku pencurian itu segera ditangkap. 

Hal itu, bukan sekedar kecurigaan belaka. Karena roti bakar, memang terbukti telah dicampur obat tidur. Pemilik gedung bernama Pak Rasyid, berinisiatif memastikan hal itu. Sebelum membuat laporan ke pihak berwenang. 

Langkah bijak sebelum amarah menyulut kecurigaan, lalu mengerdilkan nurani. Terlebih Pak Rasyid mengenal pribadi Kang Ujang, orang yang dikenal jujur dan bertanggungjawab. 

Pak Rasyid masih berusaha menguatkan Kang Ujang. Ia berkata, "Musibah macam ini, sudah biasa saya alami. Dan Kang Ujang, tetap saya percaya menjaga gedung itu." 

"Maafkan saya sekali lagi, Pak. Amanah bapak tak mampu saya pegang lagi," ucap Kang Ujang. 

Hari itu, Kang Ujang pulang ke rumah dengan wajah murung. Melihat istrinya memasak di dapur. Melihat anak-anaknya bermain di teras rumah dengan ceria. Ia menarik nafas panjang. Sesaat kemudian ia tersenyum. 

Tak sepatah keluhan keluar dari bibirnya. Konon, mengeluhkan nasib sama halnya meragukan karunia Tuhan. 

Layaknya lebah-lebah yang selalu dapat menemukan putik bunga, dan remah roti tersedia untuk semut-semut. Kang Ujang yakin, setiap usaha akan menemukan jalan. 

"Semangat betul, Kang Ujang!" 

Dentang besi bertalu kembali terdengar. Kali ini dari lapak besi bekas di pinggiran kota. Kang Ujang tengah menimbang besi tua. Tubuhnya kusam dan penuh noda karat. Namun hatinya bahagia. 

Dalam kamus hidupnya, tak ada kata menyerah atau putus asa. Karena bekerja untuk keluarga, adalah harga diri seorang lelaki. Bukan menggantungkan nasib pada belas kasihan atau tuntutan. Asalkan halal semua dapat dikerjakan. 

Harga diri lelaki adalah bekerja. Kasih sayangnya berusaha, dan cintanya adalah perbuatan.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun