Sudah lama sekali aku tidak melihat Bapak tersenyum. Dua puluh tahun sejak kepergian Ibu, luka itu masih membekas. Hari-hari dihabiskan mengurus kebun. Dan interaksi dengan kami, sekedarnya saja. Namun aku tahu, beliau mencintai anak-anaknya.Â
Senyuman terakhir Bapak masih terkenang. Suatu petang di hari senin, beliau pulang ke rumah dan langsung memeluk Ibu. Aku yang baru pulang bermain dan belum sempat mandi, turut mendapat pelukan.Â
Tangannya mengapit secarik kupon. Undian berhadiah uang, dan kupikir saat itu besar nilainya. Bapak menang SDSB, undian resmi pemerintah.Â
Katanya, akulah yang berhasil menebak nomor keberuntungan. Padahal saat itu, aku sedang belajar soal ujian matematika.Â
"Bagaimana kabar adikmu, Le?"
Bapak tengah mengasah mata cangkul. Meskipun melihatku datang, beliau tak menghentikan aktivitasnya.Â
Di balai bambu di halaman belakang rumah, tempatnya biasa melepas lelah. Ditemani segelas kopi hitam dan asbak penuh puntung.Â
"Tahun ini Dinda belum bisa pulang ke Indonesia. Dia titip salam buat Bapak," jawabku.Â
Semilir angin menyapa dari balik dedaunan. Obrolan kami hanya sejumlah hitungan jari. Beliau menyongsong terik mentari dan turun ke kebun.Â
Pandanganku beralih pada suasana rumah yang masih sama. Dinding di ruang tengah, berhias potret usang kami sekeluarga. Ibu, Bapak, aku dan adik perempuanku. Meski pantulannya kian pudar.