Lonceng di menara itu berdentang setiap pukul dua belas malam. Tak tentu hari. Kadang satu waktu dalam sebulan. Bahkan berbulan-bulan. Biasa terdengar di malam Jum'at atau Jum'at malam.Â
Padahal bangunan tua itu, sudah sejak lama ditinggalkan. Terbengkalai dan tak berpenghuni. Penduduk setempat, seolah melupakan adanya bangunan tersebut. Dan misteri tersembunyi di balik asal-usul bangunan, terkesan simpang-siur.Â
Kabar berhembus, bangunan itu adalah bekas pos penjagaan serdadu VOC. Pada masa perjuangan, telah diubah fungsi menjadi markas perkumpulan pemuda. Namun ada yang mengatakan, bangunan itu awalnya sebuah Gereja.Â
Meskipun letaknya tak jauh dari wilayah perkampungan. Melewati jalan setapak, masuk ke dalam hutan. Melintasi semak belukar di kiri-kanan. Di balik tebing. Bertembok kusam. Berselimut akar-akar gantung dan tanaman merambat.Â
"Maaf, Mbok. Apa benar ini jalan ke dusun Klewang, Kecamatan Sedayun?"Â
Utari bertanya pada seorang nenek pencari kayu bakar. Ia baru tiba di tapal batas sebuah dusun. Setelah berjalan melewati bukit dan menembus hutan jati selama tiga jam.Â
Namun sial baginya, buku catatan yang berisi nama dan alamat kepala dusun, tertinggal di kamar losmen di Semarang.Â
"Nggih, leres."
Dada Utari lega mendengar jawaban sang nenek. Ia pun menarik nafas panjang dan meregangkan tubuh. Memijat kedua lutut yang terasa pegal.Â
Namun, ketika ia akan meminta sang nenek untuk menunjukkan arah ke rumah kepala dusun. Utari terkesiap, sang nenek tidak lagi terlihat.Â
Degup jantung bak deru tambur di upacara adat. Keringat dingin mengucur deras. Ia tak bisa menyembunyikan ketakutan.Â
Meski berusaha tenang. Langkahnya terasa berat. Ia memutuskan mengikuti jalan setapak di hadapan. Nafasnya masih memburu.Â
"Tenanglah Utari, tenang!"
Ia berusaha memberikan sugesti pada diri sendiri dan berjalan pelan. Mengeluarkan handphone dari saku celana dan berusaha menghubungi Timo.Â
Utari berharap, Timo dapat menyusul dari Semarang dan menemukannya di hutan ini. Nahas, tidak nampak satu pun garis sinyal di layar sentuh.
Matahari sudah hampir jatuh ke balik tebing. Ia menatap jauh ke sebuah menara di rimbun pepohonan.Â
Dalam benak Utari, itulah tempat yang dituju. Bertahun-tahun mencari letak pasti. Berharap misteri kematian kakek dan pamannya akan terungkap di sana.Â
Bayangan suram di masa silam kembali hinggap. Kala sebuah buku catatan usang bersimbah darah, digenggamkan pada tangan mungilnya.Â
Trauma itu masih membekas. Obsesi dan rasa dendam terpaut dalam hati. Ia selalu terngiang, sepatah kata menjelang akhir hayat sang kakek.Â
"Temukan!"
Tubuh Utari bergetar kala tersadar tengah berada tak jauh dari bangunan tua. Puing yang terserak di antara semak belukar dan bebatuan menyeretnya masuk ke suasana masa lampau. Suasana hening di kala senja tertusuk ilalang. Dan malam segera menjelang.
Utari berhenti untuk menggoyangkan handphone di tangan. Kali ini layarnya benar-benar padam. Ia mengatur desah nafas, kala langit kian menghitam.Â
Meski dihantui keraguan dan rasa takut. Namun di satu sisi, hasratnya tak tertahankan untuk melangkah masuk ke dalam bangunan.Â
Ia melangkahkan kaki lebih cepat, berharap berada di sana sebelum langit benar-benar gelap. Hingga seruan dari arah belakang menahan langkahnya.Â
"Kendhel!"
Nenek pencari kayu bakar, berdiri mematung di bawah pohon beringin besar. Perempuan renta itu berseru, seakan memperingatkan Utari. Terlihat sorot matanya bak menyala. Menatap tajam di balik kegelapan.
Utari menoleh ke arah sang nenek dan kembali diserang ketakutan. Ia pun berlari menembus akar-akar gantung yang menjuntai. Masuk semakin dalam ke area bangunan tua.
Dan dengan langkah tak beraturan, ia memaksa memacu kecepatan. Hingga sebuah puing membuat tubuhnya terpelanting dan pingsan. Iapun terjatuh, tepat di bawah menara.Â
Timo keluar terburu-buru dari beranda losmen di Semarang. Tangannya menggenggam buku catatan milik Utari.Â
"Utari sudah tak waras! obsesi menuntunnya ke dalam bahaya!" Timo membanting pintu mobil dan bergegas menekan gas.Â
Timo berharap dapat menemukan dusun Klewang, malam itu juga. Dan mencegah Utari berkunjung ke Lodge Sophia. Tempat terkutuk yang telah merenggut banyak nyawa.Â
"Sudah bangun, Cah Ayu. Aku sudah bilang jangan masuk tempat ini." Lirih suara nenek tua menyapa Utari setengah berdesis.Â
"Nenek bisa bahasa Indonesia?" tanya Utari.Â
Tubuhnya terikat tali. Ia tak dapat bergerak bebas. Nafasnya memburu. Ketakutan semakin menjadi. Nenek itu tepat berada di hadapannya. Kelam dan pengap, Utari tak tahu tengah berada di mana.Â
"Tentu saja, kami pernah bersumpah menggunakan bahasa ini. Dan itu sudah sembilan puluh tahun lalu. Meskipun organisasi kami tak pernah tercatatkan dalam sejarah."
Utari akhirnya sadar. Ia tengah berhadapan dengan anggota sekte yang tertulis dalam buku catatan kakeknya. "Oh Tuhan, perkumpulan itu benar adanya."
"Lepaskan aku! untuk apa mengikatku seperti ini?" Utari memohon dan meronta-ronta meminta dilepaskan.Â
"Aku melindungimu! Cerberus akan mencabik tubuhmu, jika melihatmu keluar hidup-hidup dari tempat ini!" seru Sang Nenek.Â
"Tidak! bukan Cerberus. Tetapi kaulah pembunuh kakek dan pamanku!" Mata Utari terbelalak, saat sang nenek menyalakan api.Â
Tumpukan tengkorak di bawah patung Baphomet yang menjulang, membuat sekujur tubuhnya tenggelam dalam kengerian. Ia pun menjerit ketakutan.Â
"Tunggulah, aku akan mengayun lonceng untuk memulai upacara pengorbanan."
Rembulan merah darah muncul dari balik awan hitam. Bersinar kian terang, seiring alunan lonceng kematian. Hingga sayup-sayup tangis dan jeritan, menghilang ditelan kesunyian malam.Â
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H