FREDDYÂ merayakan pesta perpisahan di sebuah cottage di tepi pantai. Pialang kawakan yang berpengalaman puluhan tahun di lantai bursa. Hari itu memasuki masa pensiun.Â
Meraup nilai rata-rata transaksi lebih dari sepuluh juta US dolar per bulan. Ia adalah legenda. Menopang korporasi besar dengan kemampuan analisis. Menerka arah dan menjatuhkan keputusan krusial. Bukan perintah.Â
Ia mengangkat cawan tinggi-tinggi. Sukacita terpancar dari wajahnya. Sebatang cerutu masih menempel di bibirnya. Dan sorak-sorai handai taulan pun bergemuruh menyambut. Itulah pesta penghabisan.Â
Debur ombak menelan keceriaan dan riuh tawa di perayaan pensiun Freddy. Hingga tersisa ceceran minuman dari botol-botol berserakan. Dua mantan rekan kerja terkapar mabuk dan tiga pelayan perempuan yang menahan kantuk.Â
Malam belum berakhir, tetapi pesta sudah bubar. Dengan langkah sempoyongan, Freddy menuju kamar kecil. Ia memuntahkan seluruh kegembiraan dan sukacita ke dalam closet di malam itu.Â
"Halo?"Â
Freddy sempat mengangkat panggilan. Dengungan panjang dari ujung telepon berbunyi. Hingga kegelapan menelan kesadaran dan menuntunnya ke dalam mimpi. Lelap, lembab, dan gelap.Â
Dua hari kemudian, Freddy tengah berada di sebuah tayangan talk show. Menjadi salah satu narasumber dalam acara bertajuk, "Bincang-Bincang Bisnis" di televisi.Â
Puluhan audience terlihat antusias, wajah berseri dan berpakaian rapi. Mereka bukan penonton bayaran, tetapi pekerja yang tengah mengais pengetahuan.Â
Setelah sesi perkenalan narasumber, pembawa acara mulai mengajukan pertanyaan. Kali ini, Freddy yang mendapatkan giliran. Ia terlihat sangat percaya diri di depan kamera. Tak ada keraguan.
"Bapak Freddy, apa rahasia kesuksesan karier Anda?" tanya pembawa acara.