"Bergegas!"
Mercedes-Benz berwarna hitam meluncur keluar dari stasiun televisi. Sang supir sekilas memandang tuannya dari kaca spion dalam. Ia paham ke mana tuannya ingin pergi saat terlihat murung, marah dan kecewa.Â
Freddy tertunduk lesu di sebuah bar. Ia baru saja membanting gadget ke atas meja. Ia kesal, karena tak ada seorangpun menjawab panggilannya.Â
Bartender memandang heran ke arah kakek tua itu. Terlebih, Freddy belum menyentuh gelas Martini di depannya.Â
Tangan ringkih berbalut kulit keriput. Freddy mengarahkan pandangan pada tangannya sendiri. Ia kemudian mengambil kotak cerutu dari balik jas.Â
Dan Freddy tersadar, waktu cepat bergulir. Padahal, baru kemarin ia merasakan kesuksesan dalam karier. Baru kemarin ia merasakan surga dunia dalam kerlap-kerlip lampu pesta. Memborong seluruh pujian, trophy, dan penghargaan profesi.
Namun, penyesalan mulai menyeruak dalam benak kakek tua itu. Bayangan batu nisan orangtua yang tak pernah ia kunjungi semasa hidup. Paras gadis-gadis cantik berkostum seksi dalam pesta gila setiap malam. Muka lebam mantan istri yang tengah menangis. Dan tatapan kosong anak satu-satunya dari balik jeruji besi.Â
Ia meletakkan kotak cerutu di atas meja. Ia tertawa keras. Namun air matanya mengalir deras. Freddy berteriak dalam hati. Ditikam pilu yang datang dari masa lalu.
Bagaimana bisa, aku mempertaruhkan masa muda, keluarga, dan rumah tangga, hanya untuk sekotak cerutu dan segelas Martini.Â
Terkadang, dinamika kehidupan ibarat perjudian panjang. Bahkan saat kita tak mempertaruhkan apapun. Kerugian dan kehilangan akan selalu ada.
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.