Freddy memandang ke arah kamera dan tersenyum. Ia pun menjawab, "mudah saja, yakni menerka dengan cerdas. Kalian tak perlu pintar, semua ada jalan pintas."Â
"Bisa lebih spesifik?" pembawa acara kembali bertanya, kali ini dengan raut wajah penasaran.Â
"Sewaktu kecil, saya menghitung kancing untuk menuntaskan soal ujian."
Belum selesai ia berbicara, gelak tawa para hadirin membahana tak tertahankan. Memotong ucapan yang belum tuntas. Dan hal itu membuatnya cukup kesal.Â
"Ini serius! bahkan saat berspekulasi di bursa saham, tak jarang saya pasrahkan pada suara tokek," ucapnya dengan nada tinggi.Â
Tiba-tiba saja acara terhenti jeda iklan. Dan saat acara kembali dimulai, Freddy sudah tidak terlihat lagi sebagai narasumber di sana.Â
Di belakang panggung, Ia terlihat tengah berdebat dengan produser. Freddy tak terima diusir, sedangkan ia belum selesai memaparkan jawaban.Â
Reputasi bertahun-tahun yang dibangun, runtuh dalam semalam. Hilang muka di depan layar kaca. Kredibilitas sebagai pialang andal, kini dipertanyakan.Â
"Maaf, kami mengundang profesional, bukan cenayang."
Kata-kata itu memicu kemarahan Freddy. Ia tak sudi lagi tampil di depan umum. Dalam hatinya memendam kekecewaan. Mengapa semua orang menertawakan jawabannya.Â
Ia belumlah tuntas berbicara soal implementasi probabilitas. Rahasia besar yang menjadi kunci keberhasilannya dalam berkarier. Hasratnya berbagi ilmu seketika padam.
Dan hanya karena analogi kancing dan suara tokek, orang-orang menjadi skeptis. Kenapa mereka begitu cepat menghakimi.Â