Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teka-Teki Kasus: Sebuah Awal

7 Mei 2021   11:22 Diperbarui: 7 Mei 2021   11:31 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TEPAT pukul dua belas malam. Franky belum dapat memejamkan mata. Ia gelisah di atas ranjang, di dalam kamar gelap gulita. Pikiran tak tenang, hati terasa bimbang. Sekujur tubuh tak nyaman. Bantal guling di tekuk ke kiri dan kanan. Makin tak tahan, ia beranjak bangkit dan berjalan ke arah jendela. 

"Aku harus lari, aku harus sembunyi!" 

Segaris sinar menusuk, menembus kaca jendela. Terdengar bunyi letusan pistol, memecah kesunyian malam. Franky tumbang, dengan sebuah lubang di kepala. 

Darah mengalir di lantai kamar. Pecahan kaca berhamburan, memantulkan sinar rembulan berwarna kemerahan. Berserakan di antara tubuh dingin Franky. Dan matanya, masih belum dapat terpejam.

"Pembunuhan terjadi di wilayah Jati Asih. Korban berinisial FK, dinyatakan tewas dengan luka tembak di bagian kepala."

Dari kedai kopi, Jack menatap tajam pada layar televisi di sudut meja kasir. Dalam keramaian, Ia berusaha mendengar jelas berita yang baru saja di tayangkan. 

Jack bergegas membayar kopi dan beranjak pergi. Tampak secangkir kopi yang masih utuh di meja. Pelayan kedai, sampai heran dengan gelagat Jack. "Wah, tak biasanya ia pergi terburu-buru."

"Kalian ceroboh! Kalian gagal!" teriak Jack di dalam ruangan. 

Lima orang lelaki berbadan tegap, menatap Jack dengan wajah tegang. Hari itu, mereka mendadak dikumpulkan di ruang rapat kantor Polisi wilayah Jati Asih. Dua orang propam menanti di luar ruangan. Suasana bertambah tegang, kala Jack mengeluarkan pistol dari balik jaket. 

"Letakkan semua pistol dan amunisi kalian di atas meja!" perintah Jack. 

"Amir, hitung jumlah peluru masing-masing anggota," Jack menatap pada Amir dan meletakan pistolnya di meja. 

"Siap! Komar, sisa 9. Wanggai, sisa 8. David, komplit 10. Budi, sisa 9. Komandan Jack, komplit 10. Dan saya, sisa 9!" lapor Amir. 

Jack mulai membuka map biru di atas meja, ia memilah-milah lembar demi lembar kertas laporan. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia terlihat sangat serius di hari itu. 

"David, Budi, Wanggai, kalian boleh keluar ruangan, ambil kembali pistol kalian," ucap Jack.

Terlihat, Amir dan Komar saling menatap dan kebingungan. Terlebih ketika Jack mengambil pistol dan peluru mereka, seraya beranjak pergi keluar ruangan.  

Begitu keluar pintu, Jack berkata pada dua petugas di depan, "amankan mereka berdua, saya mau ijin untuk interogasi nanti malam."

Langkah Jack memasuki ruangan arsip. Ia pening bukan main, melihat banyaknya rak arsip dan tumpukan dokumen yang tengah di rapihkan petugas. Bolak-balik ia berkeliling, akhirnya menyerah juga. 

"Sersan, berikan aku berkas Letnan Amir dan Letnan Komar. Dua jam ya? harus sudah ada di mejaku," pinta Jack.

Sore itu, Jack menanti berkas di meja kerjanya. Ia tak bernafsu menenggak secangkir teh hangat di di atas meja. Pikirannya menerawang, pada situasi di malam sebelum Franky terbunuh. Iapun menyesal, telah mengambil tugas lain. Hingga lalai mengawasi korban. 

Jemari Jack, bersiap menyalakan rokok di tangan, tetapi niatnya terhenti. Saat pintu ditendang keras oleh Komisaris Polisi Dadang. Iapun menjelang ke hadapan Jack dengan wajah masam. 

"Gegabah! anggota sendiri kamu tahan! kamu sudah ke TKP belum? kamu sudah selidiki belum?!" omel Komisaris Polisi Dadang.

"Ndan, saya sudah gagal melindungi saksi. Dan saya tak mau gagal menemukan pembunuhnya. Sebelum matahari tinggi, besok saya akan serahkan hasil penyelidikan di meja Komandan," jawab Jack. 

Tak sampai dua jam, berkas-berkas yang diminta Jack sudah diantar ke ruangan. Ia mulai membongkar satu persatu map, lembar per lembar halaman. Kerutan pada dahi, menandakan Jack tengah bekerja sungguh serius dan tidak main-main. 

Franky, umur 34 tahun. Bekerja sebagai pengawal pribadi Sunyoto Darmono, pejabat BUMN yang tengah menghadapi kasus mega korupsi. Dimana Franky berstatus sebagai saksi kunci. Pendidikan, Akpol 2012. Jabatan terakhir Sersan Dua. Diberhentikan secara tidak hormat. Karena terbukti menjadi otak penggelapan barang bukti, pada kasus kecelakaan mobil pengantar uang ATM di daerah Bulungan pada tahun 2017. 

Amir, umur 34 tahun. Pendidikan, Akpol 2012. Jabatan terakhir Letnan Dua. Wilayah tugas Jati Asih, sejak tahun 2019. Tahun 2015 sampai 2017 bertugas di wilayah Bulungan. 2018 dimutasi ke wilayah Parakan. Prestasi, kasus perampok Bank Daerah Parakan di tahun 2018. 

Komar, umur 35 tahun. Pendidikan Akpol 2011. Jabatan terakhir Letnan Dua. Wilayah tugas Jati Asih, sejak tahun 2020. Tahun 2016 sampai 2019, bertugas di wilayah Parakan. Prestasi, kasus perampok Bank Daerah Parakan di tahun 2018. Tindakan indisipliner pada tahun 2017. Mengancam pejabat tinggi BUMN di diskotik Parakan, tetapi tidak ada tuntutan dari korban. 

Jack mengambil gagang telepon, dan ia meminta akses online untuk melihat berkas-berkas, kasus kecelakaan pengantar uang ATM, kasus perampokan Bank Daerah Parakan dan kasus pengancaman pejabat oleh petugas di diskotik. 

Menunggu satu jam lamanya, Jack akhirnya diberikan ijin untuk mengakses kasus-kasus lama di wilayah lain. Tak menunggu lama. Terlihat Jack berkutat di meja kerja. Hingga waktu menjelang magrib. 

"Kenapa kamu membunuh Franky?" tanya Jack. 

Suasana interogasi antara Jack dan Amir, berlangsung cukup menegangkan. Ayunan kap lampu redup di ruangan kecil, dengan kipas angin berisik yang menempel di dinding kusam. Detak jam lambat berbunyi dan dengus nafas Amir, terdengar tak beraturan. 

"Siap, saya tidak membunuhnya. Semalaman saya siaga di ring dua pengawalan. Saya menemukan korban lebih dulu," jawab Amir. 

"Kemana perginya, sebutir pelurumu?" Jack mulai mengintimidasi, dengan meletakkan proyektil peluru di atas meja. 

Dengan penuh keyakinan, Amir menjawab, "siap, saya lepaskan dua minggu lalu saat mengejar begal di jalan baru."

"Tak ada laporan?" Iirikan mata Jack, mulai membuat Amir tak nyaman.

"Siap, salah," ucap Amir. 

"Kamu mengenal Franky, sebelumnya?" tanya Jack. 

"Tidak ingat," jawab Amir, pelan sekali. 

Jack meminta petugas membawa Amir keluar, dan berganti membawa Komar ke dalam ruangan interogasi. 

Pertanyaan yang sama dan jawaban yang sama, kecuali soal jumlah peluru. "Laporan saya sudah jelas, peluru saya lepaskan saat menangkap bandar narkoba di pasar lama," ucap Komar. 

Jack memicingkan matanya, ia menatap sinis pada Komar dan berkata, "ada Budi dan Wanggai di lokasi, ada aku juga. Dan kami tak pernah melihat atau mendengar kau melepas tembakan, Komar." 

"Terakhir, apa kau mengenal Sunyoto Darmono?" pungkas Jack. 

"Tidak ada yang tidak mengenal orang itu, di Indonesia," jawab Komar. 

Interogasi masih berlanjut sampai tengah malam. Hingga sebuah kesimpulan dicatat Jack pada laporan. Namun, Jack masih buntu untuk memutus dan membuktikan dugaan. Apakah Amir, ataukah Komar pelaku sebenarnya. Iapun mengirimkan catatan itu ke komisaris polisi Dadang melalui E-mail. 

Franky mengenal Amir. Mereka bekerjasama dalam kasus penggelapan, pada kecelakaan mobil pengantar uang di tahun 2017. Hari itu, Amir yang seharusnya bertugas, digantikan oleh Franky di hari kejadian. 

Skenario berjalan lancar. Franky membunuh supir dan memasukkan mobil tersebut ke jurang. Sedangkan ia, berpura-pura terluka di tepi jurang. Namun, kejadian tak terduga adalah saat Franky ternyata dipecat dari kepolisian. Dan dia menolak membagi sisa uang hasil penggelapan pada Amir. Dengan alasan, dia yang mengambil resiko besar. 

Kala dipertemukan kembali, Amir kesal dan memutuskan membunuhnya. Alibi disiapkan, Franky dibunuh oleh orang bayaran Sunyoto sebagai dalihnya. Alat bukti, sidik jari dan jejak sepatu Amir di TKP. Bukti kuat lainnya, pesan SMS ancaman Amir kepada Franky, satu bulan sebelum Franky mendapatkan jaminan perlindungan saksi. 

Tak sampai satu jam, Komisaris Polisi Dadang menghubungi Jack melalui sambungan telepon. Tak ada pertanyaan meluncur pada hasil pemeriksaan kedua tersangka. Malah sebuah pemberitahuan kepada Jack, terkait kasus tersebut. 

"Jack, ini serius. Kamu tak perlu lanjutkan penyidikan. Biar team lain yang selesaikan. Tanggung jawab kamu sudah saya terima dengan baik," ucapnya. 

Satu minggu kemudian, Jack mendapati kabar. Amir dan Komar di sidangkan, dan mereka mengaku mendapatkan perintah membunuh Franky dari Sunyoto Darmono. Antiklimaks, yang membuat Jack meragukan kebenaran yang sesungguhnya. 

Meskipun, Komar terbukti menerima perintah membunuh Franky dari Sunyoto. Terlebih, Komar adalah kerabat dekat terdakwa kasus korupsi tersebut. Namun tidak ada bukti, ia berada di lokasi kejadian.

Dan teka-teki peluru siapa yang bersarang di kepala Franky, belum terjawab. "Gawat, Sunyoto Darmono akan terbebas dari kasus korupsi. Dan tengah diseret pada sebuah kasus pembunuhan, yang tak pernah dapat dibuktikan."

Di jalan baru, Jack berhenti dan memungut sebuah proyektil peluru. Ia yakin betul, itu adalah milik Amir. Lantas, kekuatan apa yang membuat Amir dan Komar mengaku sebagai pelaku pembunuhan itu? 

"Amir tidak berbohong. Namun, apa yang dia sembunyikan?" gumam Jack.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun