Lukas dan Tere, sudah lebih dari dua tahun saling mengenal. Di mata orang-orang terdekat, hubungan mereka sudah lebih dari sekedar teman kerja. Kadang Lukas merasa cemburu, jika ada turis asing atau lokal yang mencoba menggoda Tere.Â
Namun, tak berlaku sebaliknya. Bahkan Yabes menyebut keduanya seperti air dan minyak di luar pekerjaan. Sedangkan saat bekerja, laksana air dan gula.Â
Tentu saja, Tere adalah gula. Meskipun hanya Lukas, yang selalu saja larut dalam perasaan.Â
Seminggu berlalu, matahari bersinar di pantai Ermun. Nyiur pantai menari-nari di bawah langit biru. Debur ombak, tenang berkejaran di bawah awan-awan putih selembut satin. Sepasang kekasih, terlihat menikmati suasana dari atas perahu. Lukas dan Tere, duduk di pasir pantai menikmati sejenak waktu luang.Â
Duduk di dekat pujaan hati membuat Lukas grogi. Memberanikan diri, ia melirik pada Tere dan mulai membuka obrolan. Mulanya, Lukas berbicara tentang tamu yang dia kira turis asing. Ternyata saat diajak berbicara, logat Tegal yang dia dengar. Memang, saat ini bukan jamannya menilai orang dari tampilan fisik.Â
"Selama ini, apakah sa' su kas'nyaman, Nona?" Lukas semakin lama berbicara, semakin terbawa suasana.
"Ya Kaka, lebih nyaman lai. Kalau panggil sa Tere, cukup," jawab Tere.Â
"Eh, lebih mesra panggil Nona atau Adek, toh" ucap Lukas.Â
Tere hanya melemparkan senyum, tetapi tatapan tak lepas ke ujung lautan. Lukas memandang ke arah yang sama. "Apa yang ko lihat di ujung laut?" gumam Lukas.Â
Siang di kantor travel guide, Yabes melihat Lukas yang tengah sibuk di layar komputer.Â
"Rajin, Kaka. Buat apa? tanya Yabes.Â
"Prospek, Kaimana tra boleh kalah deng Raja Ampat," jawab Lukas.Â