"Aku pindah rute ke Kendari atau Tanjung Priok sepertinya," jawab Rama.Â
"Ah, pulang kampung!?" seru Abdul terkaget-kaget.Â
"Laut masa depan ekonomi Indonesia. Dan laut Indonesia belum sama sekali aku arungi, Dul," ucap Rama.Â
Obrolan mereka terlihat serius. Hingga rombongan telah menyelesaikan urusan di kantor itu. Rama dan Abdul masih berbincang di sebuah ruangan.Â
Hari-hari berlalu, Afikah kian sibuk dengan hafalan surat. Dua kali khatam Al-Qur'an, kali ini ia tengah berlatih menjadi Hafidzah.Â
Ibunda tampak tenang membimbing Afikah. Meski berkali-kali Afikah lupa harakat. Ibunda dengan lemah lembut meminta gadis kecilnya mengulang.Â
"Harakat panjang, cantik. Ingat-ingat ya."
Malam ketiga setelah pulang tadarus. Afikah kembali mendapat bimbingan Ibunda. Kali ini, Ibunda terlihat gemas dengan hafalan Afikah yang masih saja salah harakat.Â
Beliau sampai mengajak gadis kecilnya menghapal dari kamar ke teras rumah. Beliau berharap suasana tenang seperti teras masjid, dapat membuat Afikah lebih fokus.Â
Ibunda menghela nafas panjang, memilah dan memilih teguran yang pas untuk gadis kecilnya. Beliau baru saja akan membuka mulut. Tiba-tiba terdengar seseorang mengucapkan salam.Â
"Assalamualaikum, sepertinya Ibunda satu ini butuh bantuan," ucap Rama di depan teras.Â
Seketika suasana menjadi haru. Ibunda menitikkan air mata. Berlinang semakin deras tak terbendung. Dan Afikah, kini terpaku dengan mata berkaca-kaca.Â