Menteri dan Jenderal kelelawar tertawa mendengar jawaban Rarami. Mereka tertawa terbahak-bahak, dan membuat Rarami naik pitam karena merasa diremehkan.Â
"Apa yang lucu! aku dapat menebar biji-biji lebih banyak dari Raja Kelelawar!" seru Rarami.Â
"Bila melakukan hal yang sama, tentu tak ada bedanya," ucap Menteri kelelawar.Â
"Ya, lihatlah buah besar di atas sana. Tentu, biji-biji dari buah itu akan tumbuh menjadi pohon yang sangat besar," terang Jenderal kelelawar, seraya menatap ke arah rembulan.Â
Nafsu makan Rarami makin berlipat. Ia melihat rembulan sungguh menggiurkan. Laksana apel yang berkilau, menanti untuk dilahap olehnya.Â
"Ah, aku pasti kenyang memakan buah besar itu," pikirnya.Â
Tanpa banyak bicara, Rarami terbang untuk menjelang rembulan. Ia mengepak sayapnya kuat-kuat. Berharap mencapai buah besar yang menggantung di langit malam, sebelum pagi tiba.Â
Rarami terbang tinggi dan semakin jauh dari lembah. Mengikuti pergerakan rembulan yang kian dekat dengan puncak gunung. Hingga, pagi menjelang dan rembulan hilang jatuh ke lautan. "Oh tidak, aku terlambat!" keluh Rarami.Â
Rarami memutuskan beristirahat di tebing karang, tempat ribuan burung walet bersarang. Ia menanti malam, untuk kembali terbang menuju rembulan.Â
Begitulah seterusnya, Rarami setiap malam berusaha mencapai rembulan. Jauh dan semakin jauh dari lembah. Hingga iapun tak pernah kembali lagi.Â
Sementara di lembah nan asri. Kelelawar lain hidup dengan damai tanpa gangguan Rarami. Tanpa rasa khawatir akan kehilangan sumber makanan mereka. Semua berkat siasat Raja, Menteri dan Jenderal kelelawar.Â
**
- Hidup bermasyarakat haruslah saling berbagi.Â
- Kepentingan orang banyak, lebih berarti dari kepentingan individu.Â
- Nafsu dan kesombongan, hanya akan membuat dangkal pikiran.Â