BULAN Purnama menghiasi langit malam di antara kerlap-kerlip bintang. Becermin genit pada telaga, memantulkan cahaya semesta. Ilalang dan kunang-kunang, menari diiringi irama jangkrik. Romansa alam di dinginnya suasana lembah nan asri.Â
Hewan-hewan malam turun dari peraduan, menjelajahi padang rumput dan pepohonan. Bersukacita menyambut malam-malam berkabut. Deru nafas mangsa dan pemangsa berkejaran hingga pagi buta. Harmoni alam yang tak pernah usai.Â
Sekelebat bayangan melintas di antara pucuk-pucuk jemuju. Kemudian, hinggap pada pohon apel yang berbuah lebat.Â
Itulah kelelawar terbesar di seantero lembah yang bernama Rarami. Ia sangat lahap, buah-buah dimakan sampai tak bersisa. Satu pohon seolah-olah hanya menjadi miliknya.Â
Namun hal itu, tak cukup menuntaskan nafsu makan Rarami. Ia masih sangat lapar. Rarami hinggap di pohon lain, memakan buah-buahan yang tengah dinikmati oleh kelelawar lain.Â
"Hai Rarami, kurangi nafsu makanmu. Berbagilah dengan kami," ucap kelelawar kecil di ujung dahan.Â
"Pergilah, aku masih lapar. Cari saja pohon lain, tak perlu mengurusi nafsu makanku!" jawab Rarami.
Kelelawar lain resah pada nafsu makan Rarami, mereka bersiasat untuk mengusir mahkluk tersebut keluar dari lembah. Jika berlama-lama, tentu buah-buahan lekas habis hanya untuk Rarami.Â
"Aku tak sampai hati, bagaimanapun ia sebangsa dengan kita," ucap Raja kelelawar.Â
"Nafsu makan Rarami meresahkan, kita harus bertindak," seru Menteri kelelawar.Â