Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Vonis Maksimal Pembunuh Kucing dan Anjing?

26 Maret 2021   21:36 Diperbarui: 27 Maret 2021   15:57 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Vonis Maksimal Pembunuh Kucing dan Anjing? Foto: SnapStock via Pixabay.

PADA sebuah adegan film Crocodile Dundee, suatu ketika Dundee menjemput anaknya pulang sekolah. Di perjalanan, si anak menemukan biawak pohon dan hendak melempar dengan batu. Dundee menahan tangan anaknya dan berkata, "you hungry, want him for dinner?"

"Yuck, no way," jawab Anaknya. 

"Then you better miss," ucap Dandee.

Dari adegan itu, kitapun memahami. Bahwa, "kamu tak perlu membunuh hewan, jika tak mau memakannya."

Dahulu kala, manusia pernah melalui zaman berburu dan meramu. Berburu hewan untuk dimakan dan meramu sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bukan tanpa alasan, bukan pula berdasarkan rasa benci dan perilaku iseng belaka. 

Di masa kini, tatanan kehidupan manusia kian lengkap. Dengan berbagai pranata sosial, budaya, hukum dan agama. Untuk memilah mana hewan konsumsi, hewan dilindungi dan hewan peliharaan.  

Undang-undang perlindungan hewan dibuat di tiap negara. Kepedulian manusia, untuk hidup selaras dengan alam mulai disadari. 

Di Indonesia, payung hukum yang mengatur perlindungan hewan sudah cukup lengkap. Di antaranya sebagai berikut: 

  • KUHP pasal 170
  • KUHP pasal 302
  • KUHP pasal 335
  • KUHP pasal 406
  • KUHP pasal 540

Ketetapan hukum di atas, memuat ancaman maksimal kurungan badan selama 12 tahun penjara. Benarkah, sudah di tegakkan? 

Karena faktanya, masih terdapat kasus penganiayaan dan pembunuhan secara serampangan pada hewan. Padahal, tak ada ancaman berarti dan kerusakan lingkungan oleh hewan-hewan tersebut. 

Tak perlu jauh-jauh ke hutan rimba yang akhir-akhir ini kian menyusut luas area, berganti area industri, pemukiman dan pertambangan. Di lingkungan terdekat kita  pasti pernah bertemu dengan anjing dan kucing. 

Hewan-hewan ini, biasa dipelihara dan dikembangbiakkan oleh manusia. Namun akibat kelalaian, ketidakmampuan dalam merawat dan lain sebagainya. Akhirnya mulai dikenal istilah "kucing liar" dan "anjing liar" di pemukiman manusia. 

Kucing dan anjing, kerap menjadi target kekerasan dan pembunuhan, dengan berbagai alasan kurang masuk akal. 

Hingga, kita biasa disuguhkan berita viral soal kucing atau anjing yang disiksa, dianiaya, dan lebih parah, dibunuh. Kemudian, pelaku ditangkap dan dihujat oleh netizen sedemikian rupa. 

Namun, apakah kita pernah mendengar putusan pengadilan tentang vonis hukumannya? 

Pelaku tindak pidana ringan, istilah bagi pelaku penganiaya atau pembunuhan hewan sejenis anjing dan kucing. 

Pada 23 Juni 2020, pelaku penganiayaan hewan dengan cairan sejenis soda api terhadap 6 ekor anjing dan menyebabkan 5 diantara mati. Hanya divonis hukuman masa percobaan 6 bulan dan membayar denda 1,000,000 rupiah. Tentu, tak akan ada efek jera dari vonis tersebut. Pelaku hanya perlu menahan diri selama 6 bulan agar tidak menjalani kurungan badan. (Sumber: Kompas.com)

Teranyar, kasus penganiayaan kucing di Tangsel yang menjadi viral. Menginjak-injak kucing yang sudah tidak berdaya. 

Klarifikasi dan permintaan maaf di media sosial, cukup membuat kita geleng-geleng kepala. 

Tak ada kelanjutan kasus serupa sampai saat ini. Begitu pun dengan ending kasus penganiayaan hewan sepanjang tahun 2020. Hampir tak terdengar. 

Bandingkan dengan kasus pembunuh kucing di Malaysia yang mendapat vonis 34 bulan penjara. Atau pembunuh 21 kucing di USA yang dihukum 16 tahun penjara. 

Vonis tersebut, tentu memperhatikan kondisi kejiwaan pelaku. Tindakan sadis serupa, bukan tidak mungkin dapat diperbuat pada sesama manusia. 

Psikolog Jon E Johnston berkata, "anak yang menyiksa hewan, pernah melihat atau mengalami kekerasan pada dirinya." 

Pembunuh berantai Carrol Edmund Cole juga mengaku tindakan kekerasan pertamanya adalah mencekik anak anjing sampai mati. (Sumber: Kompas.com)

Maka, korelasi tindakan penyiksaan hewan dengan gejala psikopati sangat erat. Masihkah kita dapat menerima, pelaku atau perilaku penganiaya hewan adalah hal yang wajar. 

Tentu tidak, kasus-kasus penyiksaan kucing atau anjing akan selalu menjadi viral. Namun, vonis pengadilan dengan hukuman maksimal sesuai undang-undang di Indonesia, belum pernah viral.

Di sisi lain, populasi hewan peliharaan yang menjadi "hewan liar" harus menemukan jalan keluar. Serangan anjing rabies atau populasi kucing di perkotaan yang semakin tinggi. 

Tentu akan meningkatkan resiko konflik yang membingungkan dan menjadi bom waktu bersumbu pendek. 

Label "hama" akan mulai melekat dan justifikasi pembunuhan "hewan liar" di perkotaan akan mengemuka. 

Dan, apakah jalan pintas "sosis beracun" yang di ambil oleh pemerintah Australia, kita harapkan ditiru oleh pemerintah Indonesia? 

**

Indra Rahadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun