Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Klinik Asmara: Pasien Pertama

20 Februari 2021   16:20 Diperbarui: 20 Februari 2021   16:23 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Klinik Asmara|Pasien Pertama /Dokpri

DIAN mencoba peruntungan di masa pandemi dengan membuka klinik. Klinik khusus penderita demam asmara, dan kesepian akut. Jenis penyakit yang biasa menyerang di masa pandemi.

Mula-mula pembukaan klinik tak ada pasien yang datang. Jenis penyakit di atas, biasanya membuat penderita malu untuk berobat. Dan, lebih senang mencari alternatif pengobatan lain. 

Misal, curhat di media sosial atau mulai mendekati mantan. Paling baik, mulai memasuki rumah ibadah dan mendekatkan diri dengan keluarga. 

Pada minggu kedua, terlihat perempuan berdiri di meja pendaftaran. Pasien pertama klinik asmara, bernama Santi. 

Dengan wajah gelisah dan sedikit ragu, ia mulai mengajukan pertanyaan. 

"Apakah klinik ini semacam biro jodoh?" 

Dian menjawab, "semacam itulah, hanya saja kami menawarkan metode berbeda."

Dian, memberikan sebuah kotak pada Santi. Kotak yang lebih mirip kado, biru tua dan diikatkan pita merah. Terlihat cantik.

Dian, meminta Santi untuk pulang dan membuka kotak tersebut di rumah. Ia berkata, "bayarlah setelah sembuh." 

"Saya belum memberikan biodata!" seru Santi.

Dian kembali menjawab, "belum perlu, pelayanan lebih utama dari sekedar administrasi di klinik ini."

Santi pasien pertama

Santi, wanita karier yang terkesan santai. Menjalani keseharian dengan santai. ia bekerja sebagai staff administrasi keuangan di Bank swasta ternama. 

Masalah yang dihadapi adalah demam asmara, minder dan hampir putus asa. Tidak punya teman di dunia nyata, kecuali rekan kerja. Impiannya hanya satu, punya kekasih.

Santi bekerja delapan jam sehari, tidur delapan jam sehari, dan aktif di media sosial delapan jam sehari. Hidup yang sempurna.

Mimpi dari ribuan tunakarya di negeri ini. Penanti kesempatan bekerja, pemilih dan pemilah pekerjaan, atau mereka yang hanyut dalam protes dan keluh kesah.

Pada malam hari, Santi membuka kotak yang ia dapatkan dari klinik. Dua jam sebelum alarm tidur, masih ada waktu pikirnya. "Toh, aku sedang tidak mood berselancar di media sosial malam ini." 

Ia mengambil barang dari kotak tersebut, sebuah cermin dan secarik kertas dengan sebuah pesan. Santi memandang skeptis pada isi kotak tersebut. Ia memasukkan kembali secarik kertas dan cermin ke dalam kotak. Menaruhnya di bawah tempat tidur. 

Namun, tiba-tiba Santi beranjak dari tempat tidur. Merasa tak nyaman pada wajahnya. Iapun segera mengambil handphone dan becermin. Tidak terlihat sesuatu apapun di wajahnya. Kecuali kecantikan yang biasa dipajang di laman medsos. 

Penasaran, Santi akhirnya mengambil cermin dalam kotak dari klinik. Ia kembali becermin, melihat wajahnya dengan jelas tanpa filter atau efek kamera. Dua buah jerawat tumbuh di antara hidung dan pipi. "Bagaimana bisa sampai sebesar ini," gumam Santi.

Saat meletakkan cermin ke dalam kotak, Ia mengambil secarik kertas yang belum dibaca. Ia membaca dengan jelas isi catatan tersebut yang berbunyi. 

"Jujurlah, kejujuran adalah kecantikan sesungguhnya. Cinta tidak akan pernah datang, saat kita belum mencintai diri kita sendiri." 

Santi tertegun membaca pesan tersebut. Teringat kopi darat yang selalu gagal dan mengecewakan. Ia tersadar, media sosial tidak selalu mencerminkan kenyataan. 

Ia berpikir, selama ini berpura-pura sempurna di dunia maya tidak berguna. Brand image apa? aku sedang tidak memasarkan apa-apa. 

Bertopeng untuk apa? aku bukan publik figur yang harus selalu tampil sempurna. Aku merefleksikan diriku terlalu tinggi untuk sesuatu yang semu. 

Santi berniat membayar biaya praktek dan mengembalikan kotak. Pada hari berikutnya, dia kembali ke klinik. 

Namun, klinik sudah tutup. Dian, tidak mendapatkan ijin membuka praktek karena tidak terafiliasi dengan jenis profesi tertentu. Ditambah, pasien tak ada yang datang selain Santi dan Ujo. 

Ujo diminta pulang tanpa diberikan apapun, karena dia hanya bertanya. 

"Apakah klinik ini bisa membuat surat keterangan sakit?"

Biaya sewa ruko tidak terbayar. Dian, banting setir menjadi pedagang barang antik. Bukan barang kenangan mantan, tapi barang bekas yang sudah berumur lama dan terlupakan. 

Misal, berkas kasus pelanggaran HAM, korupsi penggede Orba dan proyek mangkrak BUMN.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian/ 20/02/21

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun