"Sumpah, mending nonton calung daripada dangdut koplo."
Tumbuh di lingkungan keluarga pelaku seni, mau tak mau harus menerima berbagai jenis musik kebudayaan. Mulai dari kendang pencak, jaipong, calung, tarling, karawitan.Â
Besar di lingkungan sekolah yang majemuk. Berteman dengan sebaya yang mempunyai selera musik beragam. Tentu, harus ikut mendengarkan berbagai genre musik berbeda. Mulai dari musik lokal sampai import.Â
Umumnya anak tahun 90-an, mengikuti komunitas penggemar musik seperti punk, grunge, hih-hop dan retro. Semacam kewajiban kala itu, untuk menunjang pergaulan.
Pada era 2000-an. Festival musik begitu mewabah. Euforia penikmat musik tanah air dimanjakan oleh penampilan offline musisi idola. Band dan group musik, seakan menjadi tren yang harus dimiliki setiap rukun tetangga (RT).Â
Hal di atas, adalah faktor yang membuat saya tidak alergi terhadap genre musik tertentu termasuk dangdut. Namun, fenomena dangdut koplo yang dibawakan oleh Ade Irma dan Inul Daratista pada awal kemunculan, cukup membuat saya risih.Â
Belakangan, lirik-lirik yang dibawakan biduan lainnya cukup vulgar dan cabul. Sedikit banyak, membuat tak nyaman. Apalagi saat kencan bersama gebetan, bisa-bisa ambyar semua gombalan.
Pernah, suatu waktu saya protes pada supir angkutan umum. "Ah, elah. Gak ada yang lain musiknya, Bang." Dan protes lebih keras dari penumpang lain, lebih deras pada saya.Â
Bertambah usia, membuat orang mencari genre musik yang lebih soft untuk didengar. Kecuali saya, di umur belia (belum terlihat tua) malah kembali mencari musik dengan beat lawas yang menghentak.Â
Jangan komentar tentang Teresa Teng atau Franky & Jane. Itu masih ada di playlist lagu sebelum tidur.Â
Akhir tahun 2016. Tiba pada rekan kerja yang bernama Eddy Wong. Memperkenalkan saya pada lagu-lagu Nella Kharisma. "Fren, ini biduan dangdut mirip artis Korea."