Berteman kopi dan obrolan ringan. Hingga, saling menggenggam tangan.Â
Delapan hari sudah, kapal bersandar di dermaga. Badai di selat Karimata sudah berlalu, pelayaran harus dilanjutkan.Â
Subuh, di ujung dermaga. Marlina melepas Bahar menuju samudera, dipegangnya kuat-kuat janji lelaki laut itu. Meski tak yakin, ada harapan yang disandarkan pada kata-kata.Â
"Aku akan kembali, Marlina. Menikmati secangkir kopi dan senyum manismu lagi."
Lima tahun telah berlalu, badai yang sama menghantam sebuah kapal di selat Karimata. Lepaslah tali dengan tongkangnya, larat hingga terbawa arus ke selatan.Â
Ombak mengayun kapal hingga 60 derajat. Menghantam dari sisi kiri dan di terpa angin kuat dari sisi kanan. Tinggi gelombang, sudah dibatas wajar. 4 meter tingginya, melambungkan kapal dengan 10 awak di dalam.
"Kapten, beta tak sanggup tahan kemudi," ucap Jamhari.
"Lepas, biar aku yang pegang," perintah Bahar.
Bahar sebagai nakhoda, tahu kondisi awal kapal yang mulai panik dan kelelahan. Iapun berkata, "Jamhari, Anwar, Sanusi, Barkah, Togar, Charles, Dadang, Made, Tanto, Dengarkan!"
"Saat ini, yang bisa kalian lakukan hanya berdo'a. Nyawa kalian milik Tuhan. Namun di kapal ini, nyawa kalian adalah tanggung jawabku," lanjutnya.
Anwar dan Togar terlihat gelisah, bahkan Tanto terlihat menangis. Life jacket yang melekat pada tubuh, tak menenangkan perasaan panik mereka.
"Tapi Kapten tak punya orang rumah!" Seru Togar.