Mulut harus menghormati perut, makan secukupnya dan nikmatilah santapan sewajarnya.
TIDAK semua anak pernah mendengarkan dongeng tentang Dewi Sri, yang akan menangis jika anak-anak menyisakan sebutir nasi di atas piring.Â
Dan tidak semua anak mendapatkan tausiyah tentang kerugian, bagi tindakan mubazir pada nikmat Tuhan yang terbuang percuma.
Namun kita bisa memulai dari diri sendiri, tentang pentingnya menjaga perut dari ego, mulut dan lidah yang terkadang tak sesuai dengan kapasitas perut kita masing-masing.
Kisah "hari terlapar sedunia" bisa kita temui dalam kehidupan sosial sehari-hari, merujuk pada tindakan seseorang atau kelompok yang bernafsu makan tinggi, namun kurang sadar akan kapasitas perut masing-masing.
Berikut, dua kisah menarik yang bisa kita ambil sebagai bahan pembelajaran.
Kisah Pertama
Seorang teman, suatu ketika pada sebuah perjamuan di perusahaan kami, pernah sampai memuntahkan makanan dan setelahnya ia kembali memesan sajian makanan lainnya.
Alasannya sederhana, karena tak setiap hari dia dapat memesan dan menikmati menu makanan asing yang harganya lumayan tinggi. Harga satu porsinya setara 50% UMR ibu kota.
Miris sekaligus heran, dari mana perilaku tersebut dia pelajari. Hak perut menerima nutrisi diabaikan begitu saja hanya untuk kepuasan mulut dan laman medsos.