STEVEN meletakkan gitarnya tergesa-gesa, kemudian turun dari atas sebuah panggung yang sesak dengan ribuan penonton.
Malam itu, ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan, hobi dan jalan hidupnya, berlari mengejar sebuah takdir yang menunggu diujung senja.
Jodoh bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi, kadang sebuah hubungan yang sekuat tenaga diperjuangkan, nyatanya hanya sebatas singgah pada rangkaian kehidupan.
Bandung, November 2007
Semangkuk mie ayam mengobati suasana hati Mei yang baru saja putus dari pacarnya, pada jam istirahat disebuah kantin sekolah menengah atas di kota Bandung.
"Ehmm, Smeell Like Teen Spirit, begajul ah," gumam Mei.
Samar terdengar suara petikan gitar dari dalam studio musik sekolah, berbatas tembok kantin tanpa peredam suara yang baik.
"Eh, udah ganti nih Trully Madly Deeply, asik juga," kembali Mei bergumam sendiri.
Piyung yang memperhatikan gelagat aneh Mei, menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "habisin cepetan, udah mau masuk nih."
"Masuk kemana, keluar aja belum," jawab Mei asal.
"Masuk kelassss," seru Piyung dengan nada kesal.
"Iyeee," jawab Mei santuy.
Piyung bergegas menarik tangan Mei yang belum selesai menghabiskan mie ayam, begitu terdengar dentang bell sekolah.
Sumpit dari tangan Mei yang terlempar mengenai jilbabnya pun tak dipedulikan Piyung, terbayang olehnya jika sampai terlambat masuk kelas, apalagi kelas pak Rudy yang terkenal sebagai guru killer.
Didalam kelas, ternyata belum ada sosok guru killer tersebut dan murid-murid pun masih belum duduk sempurna, masih bercanda wara wiri didepan kelas.
"Cun, siapa sih yang tiap jam istirahat maen di studio," tanya Mei, pada Acun teman sebangkunya.
"Steven, anak IPS," jawab Acun.
"Ganteng ga?" Tanya Mei lagi, penasaran.
Acun membetulkan posisi duduknya, sambil menunjuk wajahnya sendiri ia berkata, "ancur, gantengan ini lah."
"Ini apa?" Jawab Mei.
"Yaaa..ini!" Ujar Acun yang masih mengacungkan jari telunjuk kearah wajahnya sendiri.
"Huh, Buluk!" Semprot Mei, sambil tertawa.
"Sue," gumam Acun.
Seketika murid-murid sudah duduk rapih, dan ketegangan kelas mulai terasa, begitu terdengar langkah-langkah berat Pak Rudy dari ujung lorong.
Sudah terbayang hitungan-hitungan angka yang melayang-layang pada kepala murid-muridnya.
Sepulang sekolah, terlihat Acun menghampiri Steven yang baru saja bersiap menyelah vespa merah marun.
"Stev gimana, udah beres ngulik?" Tanya Acun.
Steven pun duduk diatas Vespa merah marun dan memulai obrolannya dengan Acun, rekan satu band-nya.
"Kaleum," ujar Steven.
"Malem nge-jam lah, jadikeun," ajak Acun.
"Siap," jawab Steven.
Acun mengeluarkan Ipod dari tasnya, mengarahkan headset pada telinga Steven sambil berkata, "nih bahan, coba denger."
"Wuih, sedapp," gumam Steven, dengan wajah antusias.
Mereka berdua terlihat sudah berada pada panggung sebuah cafetaria di Gede Bage, menjajakan karya musiknya dari panggung ke panggung, dari cafe ke cafe.
Tampil pada berbagai festival musik underground, dari Ujung Berung, Cihampelas, Dago sampai Braga.
Steven dan Acun lambat laun menjadi siswa paling populer disekolah, bahkan beberapa guru sering mengundang band mereka untuk sekedar mengisi acara hajatan nikah, bahkan sunatan.
Berbeda dengan Acun yang menikmati kepopulerannya dengan rajin gonta ganti pacar, Steven yang terkesan misterius dan introver, masih betah dengan kesendiriannya didalam studio musik sekolah tiap jam istirahat.
Mei yang hampir setiap hari mendengarkan petikan gitar Steven dari bangku kantin, membayangkan setiap nada-nada yang mengalun adalah sebuah rayuan untuknya.
Kadang terdengar indah dan syahdu, kala Steven memainkan lagu-lagu rock klasik semisal Love of My Life milik Quenn atau Bed of Rosesnya Bon Jovi.
Mereka tak pernah saling menyapa, hingga suatu ketika Mei berpapasan dengan Steven dilorong sekolah, meskipun tanpa kata dan hanya bertatapan saja.
Steven merasa ada yang aneh pada tatapan Mei begitupun sebaliknya, hingga keduanya seperti sengaja mencari momentum agar dapat berpapasan dilorong sekolah berkali-kali, meskipun tanpa saling menyapa.
"Cun, anak kelas IPA 2 yang pake kuncir dua siapa namanya?" Tanya Steven.
"Yang mana?" Jawab Acun.
"Yang suka bareng Piyung anak OSIS," jelas Steven.
"Oh, itu Mei anak pak Burhan," jawab Acun.
Steven pun seperti mengingat-ingat nama Burhan tersebut, dengan rasa penasaran ia kembali bertanya pada Acun.
"Burhan, penilik sekolah yang rumahnya deket tikungan?" Tanya Steven lagi.
"Astagfirullah, itu Meila masa ga hafal!" Ujar Acun, yang terlihat heran dengan pertanyaan-pertanyaan Steven.
"Dulu waktu SD sekelas, SMP sekelas sama kita, pernah di cie cie ke kamu juga," lanjutnya.
"Meila dekil,?" Ucap Steven pelan.
"Ho'oh" gumam Acun.
Bayangan Steven terlempar pada masa kecil, mengingat kembali nama Meila yang tak asing didengar, hingga ia pun mulai sedikit mengingat sebuah momen tentangnya.
"Sama saja kalian berdua sok tua, sok pikun!" Ucap Acun yang mengagetkan Steven seketika.
"Sampai ketemu di Braga, Steve," pamit Acun yang meninggalkan Steven sendiri didalam studio musik.
Malas mengingat-ingat lagi, Steven pun memainkan Miss Your Love milik Silverchair malam itu, hingga petikan gitarnya tenggelam diujung malam.
Pada sebuah festival musik dijalan Braga, terlihat kemeriahan anak-anak remaja tanggung dengan dandanan berbagai gaya, mulai dari metal, punk, retro, emo dan casual wara-wiri disekitar lokasi festival.
Mei dan Piyung berjalan berdesakan menuju panggung utama, demi menyaksikan penampilan band favoritnya Burger Kill.
"Kenapa itu Burger Kill, drummernya ganti?" Tanya Piyung pada Mei.
"Masa sih, eh iya bener," jawab Mei, sambil memastikan.
"Beda, gebukannya ih," ucap Piyung.
"Ah, tetep enak lah," tutup Mei, seraya mengajak Piyung berjalan kedepan panggung.
"Mei itu kan Acun, sama band sekolah kita," seru Piyung menunjuk pada arah back stage.
Acun, Steven dan band mereka yang sukses membuka penampilan band kenamaan Bandung tersebut, terlihat sedang membereskan alat-alat musik yang mereka bawa.
"Keren, maennya kamu," ucap Mei kepada Steven
Mei yang membuka pembicaraan sepertinya ragu untuk menyapa lebih banyak.
"Emang liat, cuma satu lagu tadi," jawab Steven pelan.
"Mei," sapa Mei kembali, sambil mengulurkan tangannya.
Steven yang menyambut tangan Mei dengan dingin pun menjawab, "kita temen SD, SMP dan SMA kenapa kenalan lagi."
"SD, SMP? Yang bener ah," ucap Mei tak percaya.
Steven pergi tanpa mengatakan apapun, ia hanya menatap mata Mei dengan senyum kecil, berbalas senyum Mei yang perlahan mengembang seiring langkah Steven meninggalkan mereka.
Semalaman Mei tidak nyaman, masih terbayang senyuman Steven dalam pikirannya, dan dalam hati bertanya-tanya, benarkah mereka pernah satu sekolah dari kecil.
Mei pun malas mengingat-ingat, dia hanya tahu rayuan Steven dengan petikan gitarnya, mampu mengobati suasana hatinya kala sedih atau kecewa.
Merekapun semakin hari semakin dekat, jika sebelumnya Mei dan Steven tak pernah saling menyapa saat berpapasan dilorong sekolah.
Maka sejak saat itu, mereka selalu bertegur sapa dan terlihat berjalan berdua dengan akrab.
"Steve, kita udah lama jalan bareng," ucap Mei.
"Trus," jawab Steven singkat.
"Masa ga mau lebih serius, sih," gumam Mei sambil mendekat pada Steven.
"Maksudnya?" ucap Steven sambil menimbang-nimbang gitarnya.
"Pacaran gitu?" Jelas Mei, seraya menarik nafas.
Steven meletakkan jemarinya pada senar gitar, namun urung memetiknya.
"Aku ga mau bilang aku cinta kamu, tapinya Mei," gumam Steven seraya menutup matanya, sadar ucapannya sedikit bablas.
"Kenapa gitu?" Mei merespon dengan senyuman.
"Takut kamu nolak," jawab Steven.
"Nah, itu udah bilang," ucap Mei seakan menggoda, kali ini dengan senyum yang lebih lebar.
"Berarti, kamu mau nolak?" Tanya Steven.
"Enggak lah," ucap Mei tegas.
"Gak nolak," lanjutnya.
Steven tak merespon dengan kata-kata, ia lekas memetik gitarnya dan memainkan lagu You And Me milik Lifehouse.
Mei pun bernyanyi bersama Steven malam itu, menghabiskan lagu-lagu cinta dalam paduan suara mereka berdua, dan mengakhiri malam dengan sebuah ciuman yang mendarat di pipi Steven.
Sepertinya, Steven dan Mei sejak malam itu sudah selesai dengan teka teki hubungan mereka, lalu menikmati perjalanan asmara dengan sewajarnya.
Cinta kadang tak perlu diungkapkan berlebihan, ia akan menemui jalannya untuk terungkap tanpa sebuah rayuan, coklat dan bunga-bunga.
Yogyakarta, November 2014
Selepas SMA, Steven dan Mei melanjutkan pendidikannya pada kota yang sama, namun di universitas yang berbeda.
Mei yang memiliki bakat sebagai pendengar yang baik, menjatuhkan minatnya pada psikologi, sedangkan Steven yang sudah tak bisa lepas dari musik memilih jurusan musik untuk melanjutkan studinya.
Tak ada yang menyangka, hubungan Mei dan Steven akan selanggeng itu, hingga bertahan sampai 7 tahun lamanya untuk sebuah cinta anak sekolah, yang kata orang disebut cinta monyet.
Malam itu di Malioboro, Mei berjalan berdua dengan Steven, bercengkrama mesra hingga mas mas penarik beca harus permisi saat melewati mereka.
Sambil berpegangan tangan, seperti biasanya mereka tertawa dan bercanda mesra, mengenang hal-hal sepele seperti kisah cemburu Steven atau kelakuan Mei saat ngambek.
"Kita udah 7 tahun hubungan, mana janji kamu buat nikahin aku, steve," ucap Mei, Tiba-tiba mengawali sebuah obrolan yang serius.
Steven yang sebenarnya tak ingin membahas itu pun tak punya pilihan lain, ia pun berkata, "aku udah datang lamar kamu, tapi kamu tahu apa yang aku terima dari keluarga kamu, lagipula kita belum lulus, Mei."
"Apa, itu silaturahmi bukan melamar, Steve," jawab Mei dengan yakin.
"Ya, gitu lah pokoknya," ucap Steven seperti menghindari obrolan lebih jauh.
"Bikin ayahku percaya, Steve," ucap Mei.
"Aku sudah datang, aku sudah bicara dan memohon tapi ahh," Steven kembali ragu untuk berbicara lebih serius.
"Ayah mau kamu serius," kembali Mei menegaskan.
"Aku serius, kalau bisa bawa orang tua pasti aku lakukan Mei, tapi aku tak bisa," Steven menjawab dengan nada sedikit keras.
"Kamu tahu aku anak panti," tutupnya pelan.
"Ayah tak perduli itu, dia cuma ingin lihat kesungguhan kamu," ucap Mei dengan tegas.
"Bibit bebet bobot, aku benci kata-kata itu," Steven menjawab seperti mengomel sendiri.
Mei yang tidak begitu senang pada jawaban Steven, melepaskan genggaman tangannya dan cemberut.
"Kenapa, jadi ayahku yang salah," ketusnya.
Mereka terlihat berbedat dipinggir jalan, namun sesekali terlihat mesra kembali dan tawa mereka pun terdengar hingga larut malam, ditelan keramaian Malioboro dengan segala romantikanya.
BlackBerry messenger chat :
-PING!
-Steve, bisa kita ketemu ditempat biasa?
Tak ada jawaban apapun dari Steven malam itu, Mei pun tak tahu harus berbuat apa, rasanya ingin menelepon namun jemarinya terasa berat menekan tombol handphone pada tangannya.
Hingga air mata Mei tumpah seketika, sambil meletakkan sebuah surat dengan logo rumah sakit ternama di Yogyakarta, Mei terlihat berkemas memasukkan berlembar-lembar pakaian kedalam koper.
BlackBerry messenger chat :
-PING!
-Mei, Aku sedang ada show di Surabaya
-Kan aku sudah pamit kemarin malam
-PING!
-PING!
Hingga puluhan PING pagi itu, Steven yang panik segera memesan tiket pulang ke Yogyakarta, hari itu juga.
Dalam hatinya khawatir terjadi apa-apa dengan Mei, setelah perdebatannya tempo hari, sepertinya semua baik-baik saja, dan Mei tak pernah bertingkah seaneh ini sebelumnya.
Steven tak dapat menemukan Mei, nomor handphone dan blackberry messenger Mei sudah tidak dapat dihubungi, begitupun teman-teman satu kampus Mei, tak ada yang tahu kemana Mei.
Hingga, sebuah informasi diterima oleh Steven dari petugas tata usaha universitas tempat Mei kuliah, bahwa terhitung hari itu Mei sudah mengajukan cuti perkuliahan hingga satu tahun lamanya.
BlackBerry messenger chat :
-PING!
-Piyung, Mei ada di Bandung?
-Aku di Jakarta Steve
-Besok balik Bandung
-Kenapa?
-Tak apa Yung, besok aku juga ke Bandung
Steven bergegas menuju rumah Mei begitu turun dari Husein Sastranegara, namun mendapati rumah Mei sudah kosong tak berpenghuni.
Tetangga Mei hanya tahu bahwa mereka sekeluarga pindah ke Jakarta, tanpa dapat memberikan alamat yang jelas.
Perasaan Steven semakin hancur, entah apa yang harus diperbuatnya, ia menatap sendu pada teras depan rumah Mei, dimana masa-masa pacaran dahulu dihabiskannya disana.
"Steve, Mei nomornya sudah tak aktif," terdengar suara Piyung dari arah belakang Steven.
Jakarta, November 2020
Steven tak begitu sukses dengan karier bermusiknya, hingga sebuah kesempatan datang hari itu disebuah event musik terbesar di Jakarta.
Steven yang biasa bermain sebagai additional guitar player, akhirnya mendapatkan kesempatan untuk masuk menggantikan pemain utama dalam band punk rock yang cukup populer kala itu.
Malam itu..
"Stev, ini !" Seru Azis, manager band, sambil menyodorkan sebuah handphone dari bawah stage.
"Siapa?" Tanya Steven.
"Mboh, maksa banget katanya penting!" Jawab Azis.
"Nanti aja, mau masuk lagu ketiga," ujar Steven.
Azis yang tidak sabaran segera naik ke stage dan berkata, "sudah 59 kali dia telepon, pesannya Mei apa gitu."
Steven seperti refleks segera menyambar handphone tersebut dari tangan Azis.
"Ya siapa ini," tanya Steven.
"Saya, suami Mei," terdengar suara dari ujung handphone.
"Ya, ada apa?" Ucap Steven, dengan malas.
"Bisa kita bertemu?" Orang itu pun kembali bertanya.
"Maaf, saya sedang sibuk," ujar Steven, menolak berbicara lebih lanjut.
Sebelum Steven memutuskan untuk melemparkan handphone pada Azis, ia mendengar suami Mei kembali berbicara.
"Mei, saat ini dalam kondisi kritis, sudah seminggu ini koma."Â
"Dimana dia?" Buru-buru Steven balik bertanya.
"RS harapan, 303 VIP" dan sambungan telepon pun terputus.
Disebuah lorong rumah sakit, Steven sudah tiba dengan terengah-engah menemui seorang lelaki yang entah dia harus bagaimana bersikap, "suami Mei" nama yang tak enak terdengar ditelinga Steven.
"Steven" ucapnya seraya mengulurkan tangannya.
"Bakrie" balas lelaki tersebut.
"Bisa aku bertemu Mei?" Pinta Steven pada Bakrie.
"Sudah terlambat, Mei baru saja.." Bakrie tidak dapat melanjutkan kata-katanya, air matanya terlihat mengalir meskipun sedikit tertahan.
Steven seketika lemas tak berdaya, menarik nafas panjang dan dalam hatinya pun remuk redam tak tentu rasa.
"Aku ingin melihatnya," lirih Steven meminta.
"Tak perlu, ia titip ini untuk kamu," jawab Bakrie seraya menyerahkan sepucuk surat.
Bakrie hendak melangkah meninggalkan Steven, namun langkahnya terhenti ketika dadanya terasa sakit setelah kehilangan istri tercinta.
Bakrie melihat Steven masih terpaku pada tempatnya, menutupi wajah dengan telapak tangannya, sambil menggenggam sepucuk surat yang ia terima.
"Mei sedang dibersihkan, kamu bisa ikut ke rumah duka," ucap Bakrie yang segera berlalu.
Steven akhirnya membuka sepucuk surat dari Mei, sedikit robek, kusut dan lembab, karena tergenang air matanya saat dirumah sakit.
Dear, Steven.
Maafkan aku
Tak ada kata lain selain maaf
Aku sudah melupakanmu Steve,Â
Benar-benar melupakanmu selama ini.
Mungkin kanker dalam kepalaku ini penyebabnya.
Tapi percayalah Steve,
Titik dimana kita pernah bersama, aku tidak ingin mengakhirinya dengan kesedihan.
Aku mau, kita berhenti pada titik dimana kita tidak meninggalkan luka satu sama lain.
Untuk itu aku pergi, tanpa kata.
Aku lemas Steve, mungkin akan ku lanjutkan catatan ini esok.
Mainkan sebuah lagu Steve, aku belum mau tidur.
Meila.
Tetesan air mata Steven membuat sepucuk surat itu kembali basah, sepucuk surat terakhir dari Mei.
Piyung memeluk erat Steven dari belakang, menguatkan suaminya yang tengah didera rasa bersalah dan patah hati.
Malam itu, Steven tidak lagi menyentuh gitarnya, takut membangunkan Mei yang sudah tenang dalam tidur panjangnya.
******
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
(Indra Rahadian 11/20/20)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H