Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saranghae, Oedipus Guido

14 November 2020   07:30 Diperbarui: 14 November 2020   07:42 1410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Pixabay

PAGI itu aku hanya berdiri di pojokan kantin, menatap dingin pada deretan jendela kelas yang riuh oleh canda tawa teman-teman.

Bibirku masih menempel pada sedotan plastik, banana milk ditangan ini sudah satu jam menemaniku, menunggumu hai dentang bell sekolah.

Pelajaran matematika, bagiku tak beda jauh dengan mengigit sekeping paqui di terik siang, di mana ketegangan akan melanda dari lidah, urat-urat kepala mengeras hingga jantung berdebar kencang dan berakhir pada perut yang mendadak mules.

"Ah males beud," bunyi teman sebangku yang bergumam, seolah-olah hanya dirinya yang tersiksa karena lupa mengerjakan PR matematika.

Fira namanya, anak manja tanggung yang sudah dari kelas nol besar taman kanak-kanak betah menjadi teman sebangku, sekelas dan satu sekolahku.

Dan jika bukan karena mamahnya yang guru bahasa Inggris di sekolah ini, mungkin aku tak akan pernah memakai seragam putih biru dan belajar di sekolah dengan status negeri.

"Tedjo, Jo..sini liat," ujarnya sambil menarik-narik lengan bajuku.

"Kerjain sendiri ah, rusuh," keluhku yang tak mau diganggu.

Bell masuk kelas kurang dari 5 menit dan sesuai pesan ayahku, bahwa kita harus bisa memanfaatkan peluang sekecil apapun untuk dapat mencapai tujuan. 

Dan tujuanku sekarang adalah menghindari hukuman karena belum mengerjakan PR matematika.

"Tedjo pelittt," keluhnya manja.

Fira kemudian menutup buku pelajaran dan memasukannya ke dalam tas, mengambil tissue basah dan mengelapkan pada wajahnya yang sudah bening dari lahir.

Aku tak ambil pusing dengan tingkahnya, yang ada dalam pikiranku adalah secepat mungkin mengerjakan PR dan menghindari hukuman.

Bunyi sirine bell sekolah seperti kunti yang tengah menjerit, akupun terkesiap dan menghentikan aktivitas pekerjaan rumah yang tertunda di sekolah.

"Duh, baru selesai setengah," ucapku, pasrah.

Bu guru Yanti melangkah masuk ke dalam kelas dengan anggun, seolah setiap gerakan tubuhnya diiringi nyanyian Wonder Girls dengan lagu Nobody.

Wajah Bu Yanti mengingatkan aku pada pesona Tante Sun, sahabat arisan ibuku yang kerap datang ke rumah, namun kali ini aku benar-benar sedang tak ingin melihat beliau di depan kelas.

"Selamat pagi anak-anak," sapa Bu Yanti ramah, didepan kelas.

Belum selesai Bu Yanti berbicara, terlihat matanya menatap ke arahku dengan wajah yang terlihat khawatir.

"Fira, kamu kenapa? Pucat sekali kamu," ucap Bu Yanti.

"Geer" sekali aku dibuatnya, dan ternyata beliau memperhatikan Fira yang tetiba meringis memegang perutnya, wajahnya tampak lembab dan pucat pasi.

"Fira, pergi ke ruang UKS segera, ibu ijinkan kamu pulang hari ini," lanjut Bu Yanti seolah ingin menghampiri.

"Hana cepat, tolong antarkan Fira ke UKS segera dan jangan lupa bawakan tasnya sekalian," pinta Bu Yanti.

Fira pun dipapah keluar kelas, matanya yang sayu terlihat mengedip kepadaku saat langkahnya menjejak pergi melewati pintu kelas.

Dalam hatiku berkata, "ah, bu guru kena gocek."

Bermodalkan tisue basah dan wajah memelas, Fira sudah bisa lepas dari masalah, sedangkan aku hanya menerima nasib dengan pasrah pada PR matematika yang baru selesai setengah dan baru saja aku serahkan ke tangan Bu Yanti.

"Guido Sutedjo, Guidoooo!" 

Bu Yanti memanggil namaku dengan keras, seperti aku tengah berada di seberang pulau, jantungku hampir copot dibuatnya, akupun merespon panggilan beliau, namun tak berani menatap wajahnya didepan kelas.

Aku terkena ulah akibat terlalu asyik main Pabji, semalaman waktu belajar hilang direnggut ajakan Wawan dan Benny, padahal sudah seminggu lebih aku tak tertarik bermain game online apapun, oh chicken dinner, mengejarmu membawa sengsara!.

Dari sekolah ke rumahku cukup dekat, aku biasa ngegowes sepeda dan tak sampai 10 menit, aku sudah bisa rebahan di depan TV.

Belum sempat aku masuk rumah, Fira sudah menungguku di depan pagar, dengan dandanan seperti abg kebanyakan, ia membantu mendorong sepedaku masuk ke dalam rumah, dalam hatiku berkata, "pasti ada maunya."

Aku bergegas mandi, namun sebuah kotak berisi roti bulat sepertinya harus sempat aku cicipi.

"Bu, ini roti beli di mana? Enak juga," gumamku, sambil melahap sepotong roti.

"Itu Korean Hotteok bikinan Tante Sundari, gui," jawab ibuku.

Benar saja, bahkan selesai mandi pun ia masih mengobrol dengan ibuku di ruang tengah, menungguku entah untuk apa, pokoknya hari ini aku mau mengerjakan PR, tak mau lagi dihukum guru apalagi jika sampai remedial.

"Gui lekas pakai baju, ini Fira sudah menunggu dari tadi loh," ucap ibuku dari ruang tengah.

Ah, benar dugaanku ternyata Fira memang ada maunya, tak seperti biasanya dia berlama-lama di rumahku seperti ini.

Gui adalah panggilan orang rumah dan Tedjo adalah panggilan teman-teman sementara guru-guru di sekolah akan memanggilku Guido, tapi di tongkrongan namaku Joe saja, terdengar keren seperti nama jalan di Jagakarsa.

Keluarga Fira dan keluarga kami sudah sangat dekat, ayahku dan papinya Fira dulu sempat bekerja di perusahaan yang sama, lalu mamahnya adalah adik kelas satu tingkat di bawah ibuku pada kampus yang sama.

Mereka bahkan sempat menjodohkan kami waktu kecil, yang aku ingat pada saat pesta ulangtahun, dimana aku masih duduk di kelas 1 sekolah dasar, Fira kecil mencium pipiku seraya memberikan kado, hingga membuatku malu bukan kepalang.

Kami tumbuh bersama di lingkungan komplek dengan jarak rumah yang hanya berbeda blok saja, di waktu kecil hampir tiap hari kami bermain bersama, dari masa taman kanak-kanak, sekolah dasar dan saat ini duduk di kelas 9 sekolah menengah.

Saking dekatnya, bahkan kami seringkali dibilang adik kakak, tentulah aku adiknya karena dibalik wajahnya yang lembut dan kekanak-kanakan, Fira adalah sosok "ketu" dan bawel seperti ibu-ibu.

Pernah suatu ketika, dia ngambek dan bersikap dingin seharian, setelah dia kutinggalkan di gedung bioskop karena saat itu aku lebih senang menonton konser musik dengan teman-teman.

Tapi tak lama dia kembali baik-baik saja dan selalu menyapa lebih dulu, mungkin karena kami sudah paham watak dan perilaku masing-masing sejak kecil.

"Ke mana kita?" tanyaku padanya

"Liat aja nanti, Jo," jawabnya singkat.

Kami tiba di sebuah mall di daerah bilangan Jakarta, sebuah banner bertuliskan SO7 Live concert terpampang di samping pintu masuk.

Dan benar dugaanku, selera Fira yang lawas memaksaku untuk menemaninya menonton band tersebut malam itu.

"Fir, di sekolah tadi kamu pura-pura ya?" Tanyaku padanya.

Fira hanya tersenyum dan mencubitku seperti biasa, dia hanya menjawab, "laper" dan kami pun berjalan masuk ke sebuah caffe di lantai atas mall tersebut.

Dari deretan meja yang penuh pengunjung, sepintas aku melihat Tante Sun tengah berbincang dengan seseorang yang kelihatannya cukup berumur di seberang caffe, namun aku tak mengenal siapa om yang sedang bersama Tante Sun.

Tante Sun adalah sahabat ibuku, mereka sering mengadakan arisan dan kegiatan sosial bersama teman-teman ibuku yang lain, sedikit banyak aku jadi tahu latarbelakang kehidupan mereka, saat tak sengaja mendengar curhat ibu-ibu dari balik pintu kamar.

Tak jarang aku berinteraksi dengan mereka, panggilan anak manis dan ganteng sudah khatam aku dengarkan setiap jumpa, namun perasaanku berbeda jika Tante Sun yang mengucapkannya, rasanya seperti baru turun dari roller coaster, sungguh oleng aku seketika.

Entah apa status Tante Sun, namun yang pasti dia tidak pernah membicarakan masalah keluarga dengan ibuku, dan beliau sering bilang kalau Tante Sun sudah lama tinggal di Korea dan baru kembali ke Indonesia tak sampai setahun lalu.

"Jo, itu lihat Hana," bisik Fira kepadaku, sambil mengarahkan pandangan matanya ke arah meja sebelah.

Aku pun mengerti kode tersebut dan melihat Hana teman sekelasku, tengah makan bersama Rudy, ketua OSIS di sekolah kami.

"Mereka udah lama pacaran," lanjut Fira menjelaskan.

"Dih, kecil kecil udah pacaran," ujarku datar.

"Tedjo, gitu deh," ucapnya pelan, sepertinya sedikit sebel dengan responku.

Selesai makan, aku meminta ijin Fira ke toilet dan saat melintas ke arah toilet aku masih melihat Tante Sun di tempatnya semula.

Tante Sun terlihat murung, akupun membelokan langkahku dan mencoba menyapa, karena kali ini om-om yang tadi kulihat bersamanya sudah tidak ada.

Semakin dekat kulihat, wajah cantik Tante Sun semakin membuatku deg-degan dan grogi, padahal kami sangat akrab jika Tante berkunjung ke rumah.

"Tante, sedang apa di sini?" Terbata-bata aku bertanya padanya.

Dia hanya tersenyum melihatku, namun matanya terlihat sembab seperti habis menangis dengan sebuah tisue yang masih digenggam oleh tangan kanannya.

"Hei, anak manis sama siapa ke sini?" Tante balik bertanya.

"Bareng temen-temen, Tante, " ucapku canggung.

"Oh, kirain sama ibu kamu," ucapnya 

Kami mengobrol sejenak dan aku baru tahu jika Tante Sun punya toko merchandise yang khusus menjual barang buatan Korea di mall tersebut.

Hingga aku tersadar, aku sedang bersama Fira yang cukup lama kutinggalkan ia di meja caffe tak jauh dari sini, bisa berabe jika ia ngamuk.

"Lama beud, Jo!" Ucap Fira.

"Aih, maaf biasa lah," jawabku.

"Ayo, udah mulai tuh," ajaknya, sambil meraih tanganku.

Sudah 3 lagu dimainkan oleh group band lawas ini, aku dan Fira terhanyut dalam suasana konser mini yang meriah, nada-nada yang mengalun dari petikan gitar Eros sepertinya membuat penonton tergila-gila pada romansa malam itu.

Fira semakin bersandar di dekatku, punggungnya makin lengket di dadaku, saat sebuah lagu berjudul "kisah klasik untuk masa depan" dinyanyikan Duta dari atas panggung.

Di bawah panggung, Fira membuat video klipnya sendiri, ia meraih tanganku dan dilingkarkan pada pinggangnya, entah apa yang ia ucapkan, karena teriakan-teriakan histeris penonton menelan suaranya malam itu.

Aku kaget, saat Fira membalik tubuhnya ke arahku, seperti hendak memeluk dan secara refleks aku memegang bahunya, lalu memutarnya balik, ku bisikan sebuah kalimat padanya dengan lembut.

"Aku ke toilet lagi ya, beser nih," bisikku padanya.

Fira hanya tersenyum dan mencubit perutku, dia masih tenggelam dalam euforia konser band favoritnya tersebut, baru SO7 yang manggung, bagaimana jika Big Bang pikirku.

Tante Sun terlihat menutup tokonya, beberapa karyawan sudah pergi dan tinggal Tante seorang diri di sana, aku pun menghampiri dan menyapanya kembali.

"Belum pulang? Nanti dicariin ibu loh," ucap Tante Sun melihatku datang.

"Udah ijin Tan, mau pulang ya," tanyaku.

Perasaan canggung, seketika berubah menjadi cair saat Tante Sun meraih tanganku dan membawa kami ke sebuah toko roti.

Terlihat toko itu sudah mau tutup, tapi Tante berhasil membeli dua buah garlic bread dan minuman, kemudian dia memberikan satu padaku.

"Tan, inget ga waktu Tante ajarin aku bahasa Korea?" Tanyaku berbasa-basi.

"Oh itu bercanda, anak manis," Tante Sun pun tertawa dengan roti yang masih berada dalam mulutnya.

"Nah itu Tan, kalau deudda sama bogi bener sih mendengar dan melihat artinya," ucapku.

"Tapi kalau mencium itu bukan sundong, tapi kiseu" lanjutku.

Kemudian kami pun mengobrol dengan seru, hingga aku terlena dan terbawa suasana, suasana yang asing bagiku malam itu dengan perasaan yang aneh dan sesak mengisi didada kiri.

Rasanya hampir serupa menghadapi UN dan sepertinya seluruh tubuhku merinding dibuatnya, tak pernah terbayangkan bisa seintim ini dengan Tante Sun.

Tante Sun menarik nafas panjang tepat didepan wajahku, dan tanganku seperti digerakkan oleh sesuatu saat mengusap bibir Tante, yang kulihat masih ada remah garlic bread tersisa disitu.

Dia memejamkan matanya, dan perasaanku makin tidak karuan saja, saat aku hendak mendekatkan bibirku padanya, seketika dia sudah menciumku, tepat ke arah ubun-ubun.

Akhirnya, Tante Sun pergi berlalu dan melambaikan tangan tanpa sepatah kata pun, hingga menghilang dan meninggalkan aku yang masih terpaku tak percaya, bisa sekonyol itu bertingkah di depan orang yang lebih tua.

"Tedjo.. Jo, kamu jahat banget sih!" Teriakan Fira memecah lamunanku, tiba-tiba saja terdengar dari arah belakang tempat aku berdiri.

Fira berlari ke arahku, kemudian dia menangis tersedu dan berkata, "kalo ga suka bilang, jangan kabur begini, Jo!"

Aku hanya tersenyum dan tak bisa berkata apa-apa, ku raih tangannya untuk pulang, lalu Fira memelukku dengan erat, aku pun segera melepas pelukannya dengan lembut seraya mengusap air matanya.

Kami pulang dalam keheningan, dalam benakku masih terbayang wajah Tante Sun malam itu dan bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya aku rasakan bersamanya.

Namun kulihat Fira sesekali tersenyum padaku, tak seperti biasanya jika sudah ngambek pastilah wajahnya cemberut atau mulutnya tak berhenti mengomel.

Malam itu, aku pulang kerumah dan langsung terbaring lemas diatas tempat tidurku, memikirkan Tante Sun, Fira dan aku yang tak kunjung paham perasaan-perasaan aneh dalam benakku.

Oh Tuhan, aku benar-benar menyesal, dan bertambah lagi sesalku saat teringat PR bahasa Inggris yang belum sempat aku sentuh sama sekali dari kemarin.

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat adalah kebetulan semata tanpa unsur kesengajaan.

Indra Rahadian, 11/13/2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun