Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Peniup Seruling Hamelin dalam Paradoks Demontrasi UU Cipta Kerja

9 Oktober 2020   12:41 Diperbarui: 9 Oktober 2020   12:58 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ragam kerusakan dan kerusuhan, aktual di ibukota dan diberbagai wilayah aksi yang membuat partisan ataupun lawan mengerutkan dahi saat melihatnya. Koordinator aksi seakan tidak berkutik, saat aksi unjuk rasa berubah menjadi anarkis dan tak terkendali.

Tindakan represif aparat dalam merespon aksi anarkis atau provokatif dari pengunjuk rasa dibeberapa daerah, menambah cemas orang tua siswa sekolah menengah yang anaknya tak kunjung pulang kerumah, lagi-lagi direpotkan untuk memeriksa ke rumah sakit atau kantor kepolisian.

Melihat begitu paniknya orang tua yang mencari anak-anaknya dalam jejaring WhatsApp group, mengingatkan pada dongeng yang digubah oleh Robert Browning, yakni peniup seruling dari hamelin.

Peniup seruling dari hamelin berkisah tentang anak-anak yang bersama-sama meninggalkan kota dan menghilang, karena mengikuti alunan suara dari seorang peniup seruling, setelah sebelumnya orang tua dari anak-anak tersebut, tidak menepati janji kepada si peniup seruling.

Sebuah Paradoks

Menghabiskan energi untuk sebuah pola yang sama dengan penetapan UU MD3, sepertinya menjadi pilihan demonstran saat ini, terlepas dari urgensi isu tersebut, maupun pro dan kontra, kekhawatiran soal pandemi, kenyataan resesi dan bertambahnya pengangguran saat ini adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Sekedar informasi, pasal-pasal kontroversi di dalam undang-undang MD3 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, melalui proses Judicial Review.

Kembali pada demontrasi, seharusnya ada kesadaran yang nyata dari koordinator dan peserta aksi, agar proses demonstrasi tidak dikotori oleh kegiatan yang tidak masuk akal, seperti membakar ban dijalan, vandalisme, blokade dan pelemparan, seolah tak ada pilihan lain untuk menempuh cara demonstrasi yang lebih damai.  

Miris, saat menolak sebuah undang-undang dengan jalan demonstrasi, namun terkesan melecehkan undang-undang lain, yang menjamin kebebasan aksi tersebut dapat terlaksana.

Lihatlah Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Pasal 6

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

- menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;

- menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;

- menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

- menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan

- menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pasal 8

Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai.

Bukankah mengedepankan nalar ketimbang emosi, lebih baik dalam menilai dan memahami suatu peristiwa, apalagi dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun