Dalam eksistensinya, arogansi dan kekerasan yang dilaksanakan PKI terhadap masyarakat yang tidak mau bergabung, terlebih kepada lawan politiknya, disinyalir melewati batas-batas perikemanusiaan, serangkaian aksi penculikan, kekerasan bersenjata dan teror, menjadi momok menakutkan dalam tatanan masyarakat kala itu, penghancuran total atas Komunisme setelahnya, seperti ungkapan senjata makan tuan, aksi keji dan sadisme PKI, berbalik menjadi petaka bagi penganutnya ditahun 1965-1966.
Setiap daerah diseluruh Indonesia, mempunyai cerita atas fakta kekejaman yang dilakukan oleh PKI, baik yang dilaksanakan pada tahun 1940-an maupun pada tahun 1960-an.
Namun catatan-catatan kekejaman PKI, terkait jumlah korban dan detail peristiwa, tidak pernah benar-benar dikaji dan disusun secara komprehensif, hal ini berbanding terbalik dengan aksi penghapusan PKI dan pengikutnya, pasca peristiwa G30S/PKI 1965.
Dari rentetan sejarah Komunis di Indonesia, dapat dipahami bahwa hilangnya eksistensi PKI, bukan semata efek perang dingin antara NATO dan Blok Komunis, yang dimulai tahun 1947, kemudian dimenangkan NATO pada tahun 1991. Tetapi lebih kepada kondisi sosial-budaya dalam masyarakat, yang tertolak belakang dengan paham ideologi tersebut.
2. Melek Hukum.
Berbeda dengan pembubaran PKI pada tahun 1948, Dimana PKI dapat bangkit kembali, bahkan ikut dalam pemilu 1955, hingga detik ini, tak ada fakta yang kongkrit akan terbentuknya PKI di Indonesia.
“ Historia Vitae Magistra” artinya sejarah adalah guru yang terbaik dalam kehidupan, begitulah kira-kira yang mendasari urgensi pelarangan Ideologi Komunis yang dituangkan dalam sistem hukum di Indonesia.
Hal ini dijamin oleh undang-undang sebagai berikut :
Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Pasal 107.
Undang-undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Pasal 40 ayat 5.