Sebelum menaruh slip tilang, penulis disuruh mencari nomor perkara di papan tabel yang berisi ribuan perkara. Di sini pun terdapat lagi calo yang menawarkan jasa mencari nomor perkara dengan bayaran lima ribu rupiah.
[caption caption="Orang-orang duduk tidak teratur, ada yang di tangga"]
Setelah penulis menaruh slip tilang bertuliskan nomor perkara, penulis disuruh menunggu untuk dipanggil memasuki ruang sidang menjalani proses persidangan. Banyak orang duduk sembarang tempat di mana saja mereka bisa duduk. Pengadilan Negeri Depok tidak menyediakan tempat khusus untuk yang berperkara sementara yang datang bisa mencapai ribuan orang per hari. Padahal di depan gedung terdapat ruang yang cukup untuk dibuat semacam tempat tunggu sementara seperti di Stasiun Pasar Senen ketika sedang melayani banyak penumpang. Apa pun caranya, seharusnya hal-hal sepele seperti ini dapat diatasi dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang baik.
Mereka yang berperkara dan menghadiri sidang adalah warga negara yang patuh hukum; mau bertanggung jawab di muka hukum. Mereka datang dalam rangka memberi pemasukan kepada negara dengan membayarkan sejumlah denda. Namun perlakuan kepada mereka amatlah tidak layak. Tata kelolanya buruk. Memalukan. Malu bekerja tidak terprogram! Malu bekerja tanpa bertanggung jawab! Itu beberapa slogan yang terpampang pada standing banner di depan ruang Pengadilan yang kiranya hanya isapan jempol belaka. Menjijikan.
[caption caption="10 slogan Pengadilan Negeri Depok"]
Satu lagi, sewaktu mondar-mandir di Pengadilan sembari menunggu nama penulis dipanggil, ada seorang petugas keamanan Pengadilan berteriak menegur orang-orang yang duduk di tangga agar jangan sampai menutup jalan. Teriakannya seperti meneriaki maling. Sungguh jauh dari tata krama dan sopan santun. Rupanya di atas terdapat ruang Ketua Pengadilan sehingga dikhawatirkan orang-orang yang duduk di tangga dapat menganggu sang Ketua Pengadilan bila berjalan keluar dan turun melalui tangga. Mereka terpaksa duduk di tangga berjubel karena tidak disediakan tempat tunggu yang layak dan memadai. Lalu keadaan seperti malah diteriaki oleh si satpam tersebut; sungguh sesat pikir yang nyata.
Proses Sidang yang Jauh dari Martabat Hukum
Berhubung hari Jumat, sidang hanya selesai sampai pukul 11.30. Karena belum dipanggil sidang sementara waktu sidang hampir selesai, penulis bertanya pada petugas bagaimana nanti prosesnya. Si petugas bilang untuk mengambil langsung di belakang, tempat menaruh slip di awal.
Sebenarnya ada yang aneh dengan proses persidangan tilang di Pengadilan Negeri Depok. Orang yang berperkara hanya disuruh masuk secara bergiliran di ruang sidang tanpa ditanyai oleh majlis hakim. Lalu, mereka disuruh membayar sejumlah uang denda setelah duduk di ruang sidang. Terdapat seorang hakim didampingi seorang (kemungkinan) panitera yang hanya duduk dan melihat orang-orang menunggu giliran masuk.
Penulis menduga keras hakim memeratakan (baca: memaksakan) vonis kepada semua yang berperkara tanpa ditanyai kepada tersangka/yang berperkara, atau dengan kata lain proses hukum tidak dijalankan dengan benar. Walhasil, denda yang ditetapkan bisa seenaknya tanpa melihat pertimbangan hukum setiap perkara. Kejadian ini sedikit banyak hampir sama dengan cerita Kompasianer tadi (klik di sini). Proses sidang yang seperti ini sangat jauh dari proses penegakan hukum yang akuntabel.
Setelah selesai shalat Jumat, penulis ke loket belakang. Di situ penulis mengambil SIM yang diberikan oleh calo yang berjumlah sekitar lima orang. Denda yang harus dibayarkan sejumlah Rp. 85.000,00. Penulis lebih suka menyebut ‘denda palak’ seperti preman yang memalak. Selanjutnya penulis keluar dan bertanya pada orang yang berada di sekitar Pengadilan kenapa penulis harus membayar denda sebanyak itu. Sependek pengetahuan penulis, seharusnya kalau mendatangi sidang denda yang dibayarkan seharusnya tidak sebanyak itu.