Mohon tunggu...
Indra Darmawan
Indra Darmawan Mohon Tunggu... Administrasi - Reguler Citizen

Ciptaan Tuhan | Greedy for Knowledge | Peaceful Life Seeker | Author of My Life's Story

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media Berbiaya Murah: Murahan!

26 Mei 2015   22:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:34 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kita dikejut-khawatirkan dengan pemberitaan beras plastik. Saya menyebutnya 'pemberitaan', bukan 'berita.' Bedanya, pemberitaan adalah proses membuat berita. Sedangkan berita sendiri adalah output dari proses itu. Memang betul berita tentang beras plastik akan saya permasalahkan nantinya, tapi nanti. Yang saya permasalahkan pertama di sini adalah pemberitaan beras plastiknya terlebih dahulu.

Isu Beras Plastik

Sore itu sehabis beraktivitas, masih segar di benak ingatan saya: menonton berita sore televisi nasional. Waktu itu, hal yang diberitakan adalah beras plastik. Ternyata di republik ini sedang beredar dan marak beras plastik di mana-mana. Itu yang saya lihat di televisi itu. Kata reporter sambil menunjukkan beragam tempat di mana beras-beras plastik itu (diduga) beredar.

Logika lumrah saya menerima berita itu tanpa menyalahkan atau membenarkan. Lebih tepatnya, saya kaget. Iya, kaget dengan fenomena beras plastik itu. “Ada ya hal semacam itu,” bisik logika saya yang sedang merehat karena lelah.

Di segmen selanjutnya, masih di stasiun dan progam berita televisi yang sama, dijelaskan bagaimana beras plastik itu bisa mewujud. Dikatakan bahwa beras plastik itu berasal dari Cina. Wah-wah, semakin yakin saja saya bahwa beras itu benar-benar (tercampur) plastik. Siapa yang tak tahu Cina: plastik, plastik, dan plastik. Barang KW (baca: barang tiruan, atau replika dari barang yang asli) tidak lain dan bukan memang banyak yang berasal dari Republik Tirai Bambu itu. Seolah menggunakan model teori konspirasi, titik-titik informasi ini secara tidak sengaja terhubungkan dalam benak pikiran saya. Kesimpulannya (yang saya simpulkan sendiri): beras plastik itu ada.

Terlebih lagi, dalam segmen itu dipertunjukkan sebuah video lengkap dengan narasi apik dari si pemberita bagaimana proses pembuatan beras plastik itu. Ini semakin menambah keyakinan saya bahwa beras plastik itu ada.

Online Research

Sebenarnya saya ingin mengajukan istilah Google (based) Research, tapi istilah ini terlalu sarkastis dan satire. Tentu saja mereka, para pengolah berita di balik layar, telah bekerja secara profesional dalam menyajikan berita. Yang saya maksud: jurnalis. Karena terlalu sarkatis, saya memilih online research saja. Meski (bisa jadi) tak dipungkiri mereka (baca: para jurnalis) dalam melakukan online research-nya akan menggunakan (situs) mesin pencari untuk memudahkan pencarian data. Nah, kita juga tidak memungkiri bahwa Google adalah mesin pencari yang paling banyak digunakan oleh para insan internet.

Baik, sebelum pada tahapan online research, ada bentuk pemerolehan data dengan kadar kebertanggung-jawaban yang lebih rendah: comotting research. Tidak perlu bersusah-susah mencari arti dari kata comotting. Comotting (yang saya cipta gunakan di sini) berasal dari kata to comot yang berarti mengambil atau memegang dengan seenaknya, kata yang lebih dikenal dalam bahasa 'kita' adalah 'asal comot.' Nah, comotting research ini satu tingkat lebih rendah daripada online research. Media (atau katakan televisi) sering menggunakan metode ini dalam bentuk courtesy of Youtube. Research di sini selesai dengan validasi courtesy of ...

Mengapa perlu research? Media pemberitaan (salah satunya televisi) memiliki fungsi menginformasikan (to inform) informasi kepada masyarakat. Informasi yang diberitakan tentu harus 'benar.' Untuk mengecek (tingkat) kebenaran informasi itu, maka media melakukan validasi atas informasi yang diperoleh. Singkatnya, kita tentu memilih-milahkan informasi yang diterima dengan indikator apakah informasi itu benar atau tidak, sebelum kita sebar luaskan kepada yang lain.

Nah, kembali ke proses validasi. Validasi dapat dilakukan dengan berbagai cara oleh para jurnaslis itu. Mulai langsung mendatangai lokasi TKP (Tempat Kejadian Perkara)-nya, atau menanyai narasumber yang langsung berkaitan dengan kejadian atau fenomena yang terjadi, saksi mata, pelaku kejadian, dan lain-lain. Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud menggurui para jurnalis itu. Yang pasti mereka tahu prosedur mendapatkan berita yang benar: valid (setelah tervalidasi) dan dapat dipertanggungjawabkan (reliable). Yang lebih pasti lagi karena saya tidak tahu (karena tidak mempelajari atau mempraktikkannya), nah orang ndak tahu sama ndak pernah bagaimana mau menggurui?

Internet research tadi merupakan salah satu proses validasi yang murah, tentu saja ketimbang door-to-door langsung turun ke lokasi. Saya menyebutnya murah, bukan mudah. Ingat! Apa bedanya? Atau, apa artinya? Ini berarti bahwa internet research/web-based research ini tidaklah gampang, meskipun secara biaya bisa dibilang murah. Kenapa tidak mudah? Karena, pertama di dunia virtual ini banyak sekali berserakan informasi-informasi yang bertingkat-tingkat: mulai dari benar sekali hingga bohong sekali alias palsu. Oleh karenanya, online research ini tidak semudah penelitian berbasis studi kepustakaan di sebuah perpustakaan universitas.

Bagaimana tidak murah? Lebih murah mana mengunduh video tentang pembuatan beras plastik di Cina, atau merekamnya langsung di Cina? Anda tentu dapat menjawabnya dengan mudah.

Mempermainkan Kepercayaan Publik

Demikian yang saya rasakan ketika hari ini Kapolri mengumumkan bahwa beras plastik tidak ada. Berdasarkan laporan BPOM dan lembaga-lembaga terkait, bahwa beras plastik itu ternyata tidak ada.

Pernyataan resmi dari pemerintah ini (yang tentu sudah melalui uji ilmiah dan laboratorium) mempertanyakan bagaimana kok bisa program berita sore yang waktu itu saya tonton bisa dengan gagah menyajikan berita beras plastik itu secara gagah nan berani. Saya menduga (dugaan saya ini condong pada kesimpulan) bahwa para jurnalis itu telah melakukan praktik online research yang tingkat validitasnya perlu dipertanyakan (sekali). Sudah saya jelaskan kalau online research itu tidak mudah, murah iya. Ketidak-mudah-an online research itu karena informasi yang ada di dunia maya itu berbiliun-biliun (bahkan lebih dari itu, dan terus mendivergensi). Lagi-lagi, saya menduga (dengan dugaan yang mendekati pada kesimpulan) bahwa insan media di balik pemberitaan beras plastik sore itu kurang tepat (diksi saya: keliru, gegabah) dalam memilih-milahkan informasi-informasi yang ada di internet itu. Lalu dengan mudah (baca: ceroboh) menaruh informasi-informasi di dunia maya itu sebagai narasi video proses pembuatan beras plastik (yang diperoleh dengan metode comotting research). Tentu saja comotting research, kan kalau ke Cina mahal!

Tepi berita sore yang saya tonton itu ternyata juga ditonton oleh ibu-ibu yang sedang ngerumpi di warung sebelah. Ditonton juga oleh sebuah keluarga yang sedang bersantai di Banyuwangi. Ditonton pula oleh tukang ojek yang sedang mangkal di Bandung. Gosip beras plastik di kalangan ibu-ibu arisan menjadi viral. Semua panik dan gaduh. Bahkan ada masyarakat yang enggan membeli beras di toko, melainkan menyelipkan sendiri gabah-gabah mereka. Ada pula celoteh mahasiswa kos-kosan yang bersyukur dia memakan mie instant ketimbang beras yang diduga bercampur dengan plastik.

Ini mungkin strategi yang sangat andal dibandingkan kampanye Gita Wirjawan menanam singkong untuk mengurangi konsumsi beras di republik ini, selain karena konsumsi beras berlebihan dapat menyumbang tingkat diabetes yang tinggi. Tidak perlu ribet-ribet berkampanye dengan menanam singkong di mana-mana, Pak Gita. Dulu seharusnya Anda cukup gulirkan isu kalau beras banyak yang teroplos dengan plastik, pasti masyarakat kita (Indonesia) akan secara alamiah menurunkan konsumsi beras, dan bisa jadi akan beralih ke konsumsi yang lain. Tapi di sini bukan imbauan Pak (mantan) Menteri Perdagangan yang sedang dikampanyekan, melainkan kepercayaan publik yang sedang dipermainkan dengan kecerobohan media. Publik dibuat gempar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun