"Kami memiliki banyak silih berganti presiden, tetapi setiap presiden mengetahui filosofi akademi klub," tambahnya.
Breugelmans mengingat betul bagaimana para pemain bintang jebolan KRC Genk mulai merintis karier seperti Courtois dan De Bruyne.
"Thibaut mulai masuk di akademi di usia delapan tahun. Dia tertinggal sebenarnya di tahun awal, tapi siapa yang sangka bahwa Thibaut hari ini adalah penjaga gawang terbaik di dunia," kenangnya.
"Kevin (De Bruyne) memiliki cerita lain. Ia masuk di usia 14 tahun. Dia berasal dari Gent. Pada awalnya, dia butuh waktu," sambung Breugelmans.
Courtois dan De Bruyne pada akhirnya jadi talenta muda yang membantu Genk untuk meraih gelar Jupiler League musim 2010-2011.
Sayang, gelar ini berujung terjualnya Courtois dan De Bruyne. Persoalan itu, Breugelmans akui bahwa hal tersebut adalah keputusan yang mau tak mau dijalankan oleh KRC Genk.
"Kami membutuhkan uang untuk menjual pemain karena kami tidak memiliki bos besar yang memiliki uang besar seperti klub Inggris dan banyak klub lainnya," jelas Breugelmans.
Meski begitu ditegaskan oleh Breugelmans, klub tetap memiliki konsistensi dan kepercayaan penuh bahwa bakat muda wajib jadi prioritas bagi mereka.
Pemain muda menurut KRC Genk bukan sekedar komoditi barang yang bisa dijual dengan harga selangit. Perputaran uang dari hasil penjualan pemain ini sepenuhnya dikembalikan lagi untuk mengembangkan infrastruktur bagi pemain muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H