Kuhn dan para pendukung pemikirannya ini menginkan sepak bola kembali pada trahnya. Mereka menginginkan sepak bola kembali ke era tradisional. Menurut mereka dengan kembali pada trahnya, sepak bola tidak lagi masuk ke pusaran pasar dan kapitalisme.
Karena menurut mereka saat sepak bola sudahmasuk ke pusaran kapitalisme, banyak hal yang dihilang dari sepak bola. Faktanya semenjak FIFA dan UEFA berdiri, dua organisasi ini berupaya mencegah agar pesan politik atau ideologis masuk ke dalam lapangan hijau. Sudah banyak klub, pemain bahkan negara mendapat sanksi dari FIFA dan UEFA karena bersentuhan dengan hal tesebut.
Meski mendapat larangan keras, faktanya stakeholder bola masih tetap berani bersuara atas apa yang mereka yakini. Sebut saja aksi dari klub Skotlandia, Celtic FC yang konsisten menyuarakan Freedom Palestina. Hal sama juga dilakukan klub kasta ketiga Italia, Livorno.
Di tingkatan pemain dan pelatih, Frederic Kanoute, Pep Guardiola dan Cristiano Lucarelli jadi contoh bagaimana pemain bola juga berani untuk melakukan demontrasi. Bagi sebagian pemain berani bersuara di kondisi ketidakadilan yang terjadi di masyarakat adalah tugas mereka sebagai tokoh publik.
Artinya apa yang dilakukan Tammy dengan mengutuk polisi Nigeria adalah tindakan normal dari seorang manusia yang terusik nuraninya karena terjadinya aksi kesewenang-wenangan.Â
Tidak hanya Tammy sebenarnya, striker United, Marcus Rasfhord beberapa waktu lalu juga berani bersuara karena tidak setuju dengan kebijakan PM Inggris, Boris Johnson terkait voucher makan gratis untuk kaum papa.
Saat terjadi ricuh di demo tolak omnibus law kemarin, adakah pemain Indonesia berani bersikap seperti Tammy Abraham?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H