Salah satu tugas menjadi seorang pewarta ialah mewancarai narasumber. Banyak tipikal narasumber. Ada yang suka berbicara panjang lebar, tapi banyak juga yang pelit berbicara. Dari sedikit narasumber yang saya pernah wawancara, pelatih Persib, Robert Rene Alberts bisa dibilang cukup berkesan.
Pelatih asal Belanda ini ramah dengan para pewarta, meskipun ia tahu bahasa Inggris lawan bicaranya tak bagus, seperti saya ini. Beberapa waktu lalu (sebelum masa pandemi corona) saya mendapat tugas dari kantor untuk mengangkat Persib sebagai identitas masyarakat Jawa Barat dan Robert Alberts tentu saja masuk ke dalam list narasumber yang harus diwawancarai.
Kenapa Robert Alberts? Tentu saja karena kami ingin membuat perbandingan soal sepak bola di sejumlah kota di Indonesia yang pernah dilatihnya. Dari argumen ini bisa menguatkan kami untuk mengulas tema besar yang diangkat, Persib adalah Jawa Barat.
Kembali ke Robert Alberts. Setelah membuat janji dengan beliau, kami pun berkesempatan untuk melakukan wawancara ekslusif dengan coach Robert di salah satu hotel di Bandung. Hari itu, coach Robert baru memimpin sesi pemulihan fisik pemain pasca pertandingan. Sehari sebelumnya, tim Maung Bandung memang baru bertanding di lanjutan Liga 1.
Coach Robert langsung mendatangi kami setelah sesi pemulihan fisik para pemain selesai. Dengan senyum yang mengembang, ia langsung menyambut kami sembari menjulurkan tangan. Pelatih 65 tahun itu tahu persis bagaimana bersikap ramah meski lawan bicaranya bukan orang lama yang dikenalnya. Tak semua pelatih memiliki keramahan dengan wartawan, apalagi dengan wartawan yang baru satu dua kali bertemu untuk wawancara.
Setelah basa basi dengan bahasa Inggris terbata-bata, kami pun memulai sesi pertanyaan dengan pelatih kelahiran Amsterdam, Belanda tersebut. Ada beberapa sesi pertanyaan yang kami ajukan untuk nantinya kami bagi dalam beberapa part video. Meski lelah baru mendampingi Persib, coach Robert tetap bersemangat dan antusias melakukan sesi interview.
Darinya banyak cerita menarik yang mungkin jarang diketahui oleh pencinta sepak bola Indonesia. Seperti soal fakta bahwa ia adalah saudara dari legenda Jerman, Juergen Sparwasser.
"Kakek saya dulu adalah pemain nasional Jerman karena ibu saya memang dari Jerman. Dia bermain di salah satu klub di Kota Koeln yang nantinya menjadi FC Koeln. Dia bermain untuk tim nasional pada umur 18 tahun," ucap coach Robert.
Selain itu, ia pun menceritakan soal tim pertama tempatnya menimba ilmu sepak bola yakni akademi Blauw Wit. Akademi ini menurut Robert jadi pembuka dirinya bisa bergabung ke akademi Ajax Amsterdam serta bermain bersama Johan Cruyff.
"Saat itu saya melawan Johan Cruyff. Tapi saya tak pernah satu tim dengannya. Saat saya jadi pemain profesional, dia bergabung ke Barcelona. Saat di Ajax, dia sudah menjadi pemain terkenal," kenang Robert sembari tersenyum-senyum saat disinggung momen tersebut.
Yang menarik dari sesi interview dengan coach Robert ialah saat dirinya menyampaikan rasa tidak suka. Ia menyampaikan rasa tidak suka dengan jelas tanpa basa basi tapi dengan pemilihan kata dan gestur tubuh yang tak menantang.
Seperti misalnya saat ia keberatan dengan sejumlah miss informasi mengenai dirinya yang banyak disadur dari halaman Wikipedia. Hal itu menurut Robert membuatnya tak nyaman. "Lebih baik tidak kita tulis, dibandingkan harus menulis yang keliru," ucap Robert.
Sesi interview dengan coach Robert berlangsung 2 jam lebih, suasana hangat dan kekeluargaan sangat terasa. Kami yang memberikan pertanyaan pun tak tergesa-gesa karena diburu waktu. Coach Robert paham bagaimana berperilaku secara profesional dengan media, salah satu ciri khas pelatih di era sepak bola modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H