Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Benarkah Penggabungan Perserikatan dan Galatama Jadi Sumber Masalah?

22 November 2018   23:46 Diperbarui: 23 November 2018   11:31 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era Perserikatan memang sempat juga terjadi kasus suap yang buat geger seperti kasus suap 1962, namun di era Galatama di tahun awal terbentuknya saja sudah muncul kasus pengaturan skor laga Perkesa 78 lawan Buana Putra pada 1979.

Hal itu tentu saja dikarenakan belum mampunya para insan sepakbola yang duduk di pengurus klub untuk bisa menopang klub tanpa ada bantuan dana lagi dari pemerintah daerah. Mau tak mau, bandar judi jadi salah satu sumber dana untuk bisa menjalankan roda klub sepakbola. Di titik inilah sumber penyakit sepakbola Indonesia terus menggerogoti hingga sekarang.  

Pertanyaannya kemudian apakah memang tepat mengatakan jika peleburan dua kompetisi tersebut menjadi pangkal masalah sepakbola di negeri ini?

Jawabannya bisa iya namun bisa juga tidak. Iya jadi pangkal masalah karena kemudian para pejabat PSSI di era Azwar Anas tak mampu melihat dimensi lain dari kejayaan sepakbola era Perserikatan. Mereka gagal meniru semangat para pendahulu yang membentuk PSSI dan mengadakan kompetisi Perserikatan.

PSSI yang berdiri setahun sebelum era Perserikatan saat itu pun diisi oleh orang-orang berwawasan visioner dan bukan orang yang menggunakan sepakbola sebagai tempat mencari popularitas, batu loncatan jabatan, atau memperkaya diri. Para pengurus PSSI kala itu adalah orang-orang yang mampu menerjemahkan kegelisahan masyarakat terjajah dengan menghadirkan sepakbola sebagai salah satu wadah perjuangan.

Maka tak mengherankan semangat yang dihadirkan era Perserikatan ialah semangat untuk membebaskan diri dari belunggu penjajah. Sepakbola jadi alat untuk mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. Semangat ini yang kemudian tak diserap dengan betul-betul dari penggabungan Galatama dan Perserikatan.

Akan tetapi jawabannya pun bisa tidak, karena kemudian penggabungan Galatama dan Perserikatan mampu membawa sepakbola negeri ini ke arah yang lebih maju dari sebelumnya. Dari era amatir menuju semi profesional, dan sekarang profesional.

Para pengurus PSSI di era penggabungan Galatama dan Perserikatan memiliki mimpi agar klub Indonesia mampu setara dengan klub Eropa yang sumber dananya tak lagi ditopang oleh pemerintah daerah. PSSI di era itu menganggap sudah saatnya klub tinggal landas menuju era profesional, di mana klub mampu menghidupi diri mereka sendiri. Harapan terakhirnya tentu saja membuat Timnas Indonesia memiliki pasokan pemain berkualitas.

Kesimpulannya baik era Perserikatan, atau era penggabungan Galatama dan Perserikatan masih memiliki hal positif, kemudian jadi negatif lebih dikarenakan ketidakmampuan para individu. Sistem yang dibangun sudah tepat, sayangnya individu yang menjalankan terlalu abai.

Kondisi ini sangat jauh berbeda jika melihat pengurus PSSI di era-era setelah itu. Mereka yang hadir dan menduduki posisi penting di federasi atau klub ialah residu dari permasalahan yang muncul di penggabungan Perserikatan dan Galatama. Alih-alih membentulkan, mereka malah nyaman dengan kondisi tersebut akiibatnya sistem tak jelas, individunya apalagi, jadi seperti inilah wajah sepakbola Indonesia sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun