Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salahkah Anak Laki-laki Bermain Masak-masakan?

30 Oktober 2018   19:24 Diperbarui: 31 Oktober 2018   12:16 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu ibu saya selalu mempermasalahkan soal kegemaran cucu laki-lakinya bermain masak-masakan. Tak hanya ibu, mertua dan sejumlah saudara lain juga mengkritisi cara saya dan istri yang membebaskan putra pertama kami untuk bermain permainan yang katanya jenis permainan anak perempuan.

Memang ada yang salah dengan anak laki-laki bermain masak-masakan? Saya menganggap kegemaran bermain masak-masakan tidaklah salah. Saya dan istri tak pernah sekalipun mengajarkan ia untuk bermain masak-masakan. Beberapa waktu lalu, ia merengek minta dibeli mainan masak-masakan. Awalnya, istri sempat kaget dan mulai berpikir yang tidak-tidak soal itu.

Ternyata dari penulusuran kami berdua, keinginan Pria begitu sapaan anak pertama kami bermain masak-masakan karena sering melihat istri memasak. Entah kagum atau sekedar ingin mengikuti, Pria jadi sangat ingin bermain masak-masakan.

Pada akhirnya saya dan istri sangat nyaman dan terkagum-kagum melihat putra pertama kami dengan leluasa bermain masak-masakan. Dengan kepolosannya Pria memainkan kompor-komporan, piring-piringan, dan sejumlah permainan masak lainnya ia keluarkan dari tempatnya.

Imajinasinya pun mulai bekerja disitu, Pria mulai mengingat cara istri memasak, mulai dari memotong dengan pisau mainan, lalu menaruh wajan di kompor mainan, dan mengangkatnya setelah matang lalu ia sajikan ke adiknya. Hal itu tidak hanya ia tunjukkan saat bermain bersama kami, di tiap ada kesempatan bertemu dengan keluarga besar, Pria pun tak malu untuk bermain masak-masakan meski nenek atau omanya selalu melarang.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Padahal kami sudah berulang kali menjelaskan kepada keluarga bahwa dengan Pria bermain masak-masakan, ia jadi tahu alat masak, nama buah-buahan, bahan makanan, daging, ikan, ayam. Pria kami jelaskan sedang dirangsang saraf sensorik, motorik (kasar dan halus), kognitif, serta merangsang daya imajinasinya. Namun tetap saja penolakan disuarakan, "Mau kamu Pria jadi feminim?" begitu jawaban terakhir keluarga saat kami panjang lebar menjelaskan.

Satu pelajaran penting lainnya yang mungkin tak disadari oleh keluarga saat Pria bermain masak-masakan ialah bahwa secara tidak langsung saya dan istri sedang mengajarkan pada dirinya untuk menghormati perempuan. Bahwa tugas memasak dari seorang ibu bukan persoalan domestik perempuan. Saya mengajarkan Pria untuk menghormati perempuan bukan untuk mengkasihaninya, buat ia setara dan jangan buat ia diinjak-injak.

Kalau tak salah ingat, kegemaran Pria bermain masak-masakan sudah ada sejak ia berumur 3 tahun dan sekarang di usianya ke 4 tahun, Pria beberapa kali mengatakan kepada kami bahwa kelak jika besar ia ingin menjadi seorang chef.

Cukup terkejut saya dan istri saat Pria mengatakan cita-citanya tersebut. Ketika ditanya oleh istri, memang kamu tahu chef itu apa? dengan polosnya ia menjawab yang masak-masak itu loh, bunda!! Pria mengaku bahwa ia sering melihat di tontonan layar kaca atau Youtube soal serunya menjadi seorang chef. Bangga sekali kami berdua mengetahui Pria memiliki cita-cita dari hal yang ia sukai.

Namun kemudian kami dibuat pusing lagi, pasalnya di sejumlah literasi disebutkan bahwa saat anak berusia 4 tahun harusnya orang tua sudah mulai diminta untuk bermain sesuai dengan gender. "Di atas usia 4 tahun anak sudah harus bermain sesuai gender," kata salah seorang dokter seperti dikutip dari okezone.com.

Pertanyaannya kemudian apakah kami harus melarang Pria untuk bermain masak-masakan? Yang artinya sama juga meminta Pria tak meneruskan cita-cita yang ia sudah tanam dari usia muda ini. Saya pernah merasakan betul bagaimana tak enaknya harus merelakan cita-cita untuk tidak diwujudkan.

Untungnya teman yang seorang psikolog mengatakan bahwa pengategorian mainan berdasarkan gender bisa menjebak anak dalam stereotip peran jenis kelamin kuno. Anak laki-laki itu urusan yang "keras", anak perempuan yang "lembut".

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Faktanya hari ini, hal yang berbau keras juga sudah dilakukan kaum Hawa, tengok saja tukang ojek atau tukang parkir, dan faktanya juga bahwa kemudian banyak chef handal ialah kaum Adam, Chef Juna Rorimpandey misalnya, apakah ia kemudian kita sebut "kemayu" karena profesinya tersebut?

Dari penjelasan teman itu, saya dan istri tambah yakin bahwa tak ada yang salah dengan Pria bermain masak-masakan. Kami tak mau mengatakan ke Pria bahwa biasanya anak laki itu mainnya robot, mobil, kereta api, pesawat dan mainan "laki" lainnya. Pria hanya anak panah, busurnya kami, mau kami arahkan ke mana itu anak panah sebenarnya tergantung dari si penarik busur itu sendiri.

Batasan-batasan dan budaya menahun yang menurut saya tak bagus soal pengategorian mainan berdasarkan jenis kelamin sudah seharusnya tak lagi bisa mempengaruhi seorang anak untuk tumbuh kembang, meski memang tetap harus ada batasan dan bimbingan ketat.

Kita tentu muak saat banyak kaum Adam tak sensitif gender, namun jika di hal sederhana saja soal mainan ini kita tak mampu melihat hal lebih luas, bagaimana fenomena negatif itu bisa dikikis. Kesimpulan bagi saya dan istri, bermain masak-masakan untuk anak laki-laki memiliki 3 fungsi besar:

1. Melatih saraf sensorik, motorik, kognitif, serta merangsang daya imajinasi dan mengingat. 

2. Mengajarkan sedari dini kepada anak untuk sensitif gender dengan memberitahukan bahwa memasak bukan semata urusan domestik kaum Hawa.

3. Membebaskan anak untuk mengembangkan keterampilan mereka tanpa harus ada batasan itu mainan laki-laki, itu mainan perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun