Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kondisi Miris di Sela-sela Perjuangan Melelahkan Timnas U-19

24 Oktober 2018   21:48 Diperbarui: 26 Oktober 2018   18:52 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pemain timnas U-19 Indonesia berebut bola dengan seorang pemain Uni Emirat Arab dalam laga lanjutan Grup A Piala Asia U-19 kontra Uni Emirat Arab di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (24/10/2018).(SUPERBALL/FERI SETIAWAN)

Ada satu fenomena menarik atau mungkin lebih tepatnya miris di sela-sela perjuangan Timnas U-19 di ajang Piala Asia U-19 2018 yakni bermunculannya banyak tagar 'perlawanan' kepada perjuangan Garuda Muda. Sejumlah tagar mulai dari tagar Taiwan Day sampai UEA Day bermunculan di tengah-tengah dukungan para suporter Timnas di jagat Twitter.

Kemunculan tagar ini bukan di-kicaukan oleh para pendukung negara tersebut, tapi oleh para netizen Indonesia, para suporter Indonesia. Mayoritas mereka yang menyuarakan dan mempopulerkan tagar tersebut bukan didasari karena faktor kecewa melihat buruknya permainan Timnas U-19 misalnya tapi karena ada faktor lain.

Faktor kekecewaan yang sangat besar kepada federasi, PSSI, karena klub yang mereka cintai mendapat sanksi jadi alasannya. Mengapa bisa dikatakan demikian? Karena dari penelusuran saya atau mungkin teman-teman lain yang memperhatikan kicauan mengenai tagar Taiwan Day, Qatar Day, hingga UEA Day disuarakan oleh mereka yang identik dengan satu kelompok suporter tertentu.

Yang menarik landasan berpikir mereka melakukan hal tersebut, di sejumlah kicauan yang saya perhatikan, mereka beralasan bahwa hal tersebut merupakan bentuk ekspresi karena membenci para petinggi PSSI bukan Timnas. Selain itu, mereka juga menyebut bahwa tidak ada yang salah jika kemudian mereka mendukung Timnas dari negara lain.

Dua landasan berpikir ini sangat membingungkan bagi saya. Pernyataan pertama misalnya bahwa tagar itu mereka populerkan karena membenci PSSI, pertanyaannya kemudian, apa hubungannya dengan perjuangan melelahkan Egy Maulana Vikri cs di lapangan?

Apakah keputusan tidak populer yang banyak dikeluarkan oleh PSSI kepada sejumlah klub Liga 1 karena pengaruh dari Egy Maulana Vikri cs? Apakah keputusan PSSI memberi sanksi yang tidak fair kepada sejumlah klub karena faktor Indra Sjafri?

Timnas Day | simomot.com
Timnas Day | simomot.com
Dalam ilmu psikologi, banyak sekali jenis gangguan dalam cara berpikir (cognitive). Untuk memudahkan memahaminya para ahli mengelompokkan kognisi menjadi 6 bagian yaitu: sensasi, persepsi, perhatian, ingatan, asosiasi pikiran kesadaran. Masing-masing memiliki kelainan yang beraneka ragam.

Selain itu ada juga istilah thought insertion yakni kondisi seseorang yang merasa ada pikiran lain yang masuk saat ia melakukan sesuatu, misalnya saat ia nge-tweet mendadak dalam pikirannya itu masuk sesuatu yang sama sekali tak ada hubunganya dengan isi tweet tersebut.

Tentu mereka yang mempopulerkan tagar tersebut tidak ingin dikategorikan sebagai orang yang mengalami gangguan cara berpikir dalam ilmu psikologi, namun jika merujuk pada kenyataan lain hal tersebut mungkin saja. Luis Milla misalnya pelatih yang baru dipecat oleh PSSI.

Dari pernyataannya di akun Instagram pribadinya, ia dengan terang benderang menyebut ada kebusukan dari federasi, namun hal itu tak menyurutkan kecintaan dan dukungannya kepada perjuangan Timnas Indonesia, ini Luis MIlla, orang asing yang gajinya sempat tertunda dibayarkan. Sebagai seseorang yang waras berpikirnya, Milla tentu bisa menemukan garis batas yang jelas soal siapa Timnas dan siapa PSSI.

Gejala ini memang bukan hal baru di sepakbola Indonesia. Di 2012 tentu kita juga masih ingat saat PSSI terbelah menjadi 2. Saat itu masyarakat sepakbola Indonesia pun seolah terpecah menjadi dua kubu, mereka yang membenci Timnas karena dualisme PSSI ini, dan mereka yang bisa memisahkan mana Timnas, mana PSSI/KPSI serta tetap memberikan dukungan. 

Andik Vermansyah saat itu bahkan sampai mengeluarkan pernyataan yang tentu masih diingat oleh masyarakat sepakbola terkait permasalahan itu, "Kami mohon dukungan dari masyarakat. Masyarakat boleh benci PSSI-KPSI, tapi jangan benci timnas Indonesia. Kami mengharapkan nasionalisme dari masyarakat Indonesia," kata Andik yang saat itu tengah berjuang di ajang Piala AFF 2012 seperti dikutip dari sindonews.com

Kita tentu bisa belajar dari banyak suporter negara lain yang juga memiliki federasi yang lebih bobrok dari PSSI, seperti AFA misalnya, federasi sepakbola Argentina ini disebut oleh banyak pihak sebagai sarang korupsi. Menurut Economist, kekayaan pejabat AFA 12 tahun lalu setara dengan pejabat pemerintahan. Mereka juga menyebutkan bahwa tingkat kekayaan pejabat AFA bisa tumbuh lebih dari 200% dibandingkan sebelum mengisi struktural.

Dampaknya memang ke tim Tango, tapi apakah kemudian para suporter melemahkan mental Lionel Messi cs saat bertarung di Piala Dunia 2018 karena persoalan memalukan tersebut? Bahkan di saat kondisi Argentina berada di lubang jarum demi bisa lolos dari fase grup Piala Dunia 2018, dukungan lebih besar mengalir untuk perjuangan Argentina. Meski kemudian lolos dan fase grup dan terhenti di fase gugur, hal itu cerita yang berbeda.

Jika kemudian dikatakan Timnas di semua level belum bisa memuaskan hasrat pecinta sepakbola tentu persoalan yang lain lagi, dan tentu mempopulerkan tagar 'perlawanan' kepada perjuangan Timnas bukan jadi solusi konkrit untuk bisa membuat Timnas berprestasi.

Pun dengan pernyataan yang menyebut bahwa tidak ada yang salah jika mendukung negara lain selain Timnas Indonesia. Tentu tidak salah, namun lagi-lagi hal itu menimbulkan pertanyaan baru, sejak kapan kalian mengetahui sepak terjang pemain Taiwan, Qatar, atau UEA?

Bukankah kalian juga masuk barisan yang bersuara nasionalisme saat Andri Syahputra misalnya beberapa tahun lalu menolak untuk membela Timnas Indonesia? Bukankah kalian juga menyuarakan umpatan serta hujatan kepada pemain Al Gharafa tersebut?

Namun lagi-lagi suara untuk mempopulerkan tagar 'perlawanan' saat Timnas tengah berjuang ialah hak dan tidak ada yang melarang, pun dengan suara untuk menentang tagar 'perlawanan' tersebut melalui cara berpikir yang lebih masuk akal dan membangun juga hak seseorang.

Saya sangat setuju dengan banyak pernyataan bahwa mencintai timnas itu harus dengan segala kekurangan serta kelebihannya. Mengkritik timnas saat bermain buruk itu menjadi hal wajib dan memang semustinya dilakukan oleh para suporter, namun akan jadi tidak bijak jika kritikan tersebut serampangan dan tidak mendasar serta hanya didasari karena diusiknya klub yang kita cintai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun