Ada satu fenomena menarik atau mungkin lebih tepatnya miris di sela-sela perjuangan Timnas U-19 di ajang Piala Asia U-19 2018 yakni bermunculannya banyak tagar 'perlawanan' kepada perjuangan Garuda Muda. Sejumlah tagar mulai dari tagar Taiwan Day sampai UEA Day bermunculan di tengah-tengah dukungan para suporter Timnas di jagat Twitter.
Kemunculan tagar ini bukan di-kicaukan oleh para pendukung negara tersebut, tapi oleh para netizen Indonesia, para suporter Indonesia. Mayoritas mereka yang menyuarakan dan mempopulerkan tagar tersebut bukan didasari karena faktor kecewa melihat buruknya permainan Timnas U-19 misalnya tapi karena ada faktor lain.
Faktor kekecewaan yang sangat besar kepada federasi, PSSI, karena klub yang mereka cintai mendapat sanksi jadi alasannya. Mengapa bisa dikatakan demikian? Karena dari penelusuran saya atau mungkin teman-teman lain yang memperhatikan kicauan mengenai tagar Taiwan Day, Qatar Day, hingga UEA Day disuarakan oleh mereka yang identik dengan satu kelompok suporter tertentu.
Yang menarik landasan berpikir mereka melakukan hal tersebut, di sejumlah kicauan yang saya perhatikan, mereka beralasan bahwa hal tersebut merupakan bentuk ekspresi karena membenci para petinggi PSSI bukan Timnas. Selain itu, mereka juga menyebut bahwa tidak ada yang salah jika kemudian mereka mendukung Timnas dari negara lain.
Dua landasan berpikir ini sangat membingungkan bagi saya. Pernyataan pertama misalnya bahwa tagar itu mereka populerkan karena membenci PSSI, pertanyaannya kemudian, apa hubungannya dengan perjuangan melelahkan Egy Maulana Vikri cs di lapangan?
Apakah keputusan tidak populer yang banyak dikeluarkan oleh PSSI kepada sejumlah klub Liga 1 karena pengaruh dari Egy Maulana Vikri cs? Apakah keputusan PSSI memberi sanksi yang tidak fair kepada sejumlah klub karena faktor Indra Sjafri?
Selain itu ada juga istilah thought insertion yakni kondisi seseorang yang merasa ada pikiran lain yang masuk saat ia melakukan sesuatu, misalnya saat ia nge-tweet mendadak dalam pikirannya itu masuk sesuatu yang sama sekali tak ada hubunganya dengan isi tweet tersebut.
Tentu mereka yang mempopulerkan tagar tersebut tidak ingin dikategorikan sebagai orang yang mengalami gangguan cara berpikir dalam ilmu psikologi, namun jika merujuk pada kenyataan lain hal tersebut mungkin saja. Luis Milla misalnya pelatih yang baru dipecat oleh PSSI.
Dari pernyataannya di akun Instagram pribadinya, ia dengan terang benderang menyebut ada kebusukan dari federasi, namun hal itu tak menyurutkan kecintaan dan dukungannya kepada perjuangan Timnas Indonesia, ini Luis MIlla, orang asing yang gajinya sempat tertunda dibayarkan. Sebagai seseorang yang waras berpikirnya, Milla tentu bisa menemukan garis batas yang jelas soal siapa Timnas dan siapa PSSI.
Gejala ini memang bukan hal baru di sepakbola Indonesia. Di 2012 tentu kita juga masih ingat saat PSSI terbelah menjadi 2. Saat itu masyarakat sepakbola Indonesia pun seolah terpecah menjadi dua kubu, mereka yang membenci Timnas karena dualisme PSSI ini, dan mereka yang bisa memisahkan mana Timnas, mana PSSI/KPSI serta tetap memberikan dukungan.Â
Andik Vermansyah saat itu bahkan sampai mengeluarkan pernyataan yang tentu masih diingat oleh masyarakat sepakbola terkait permasalahan itu, "Kami mohon dukungan dari masyarakat. Masyarakat boleh benci PSSI-KPSI, tapi jangan benci timnas Indonesia. Kami mengharapkan nasionalisme dari masyarakat Indonesia," kata Andik yang saat itu tengah berjuang di ajang Piala AFF 2012 seperti dikutip dari sindonews.com