Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengais Rupiah Sembari Menjaga Budaya Leluhur

22 Oktober 2018   21:27 Diperbarui: 22 Oktober 2018   21:47 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat berkunjung ke desa Tumbang Malahui, Gunung Mas, Kalteng saya menemui banyak hal menarik yang sepertinya tak cukup jika diceritakan di satu artikel saya sebelumnya yang berjudul Menikmati Keramahan Masyarakat Dayak dan Cerita Tugu Soekarno di Palangka Raya.

Salah satu kisah menarik yang ingin saya angkat ialah saat pertemuan saya dengan para penjaga budaya yang juga berprofesi sebagai penjual atau pengrajin budaya suku Dayak.

Sebelum masuk ke pembahasan dengan para pengrajian budaya suku Dayak ini, saya menyempatkan diri untuk melihat pertunjukan tarian tradisional berjudul tari Hatangku Hatangkalu yang dibawakan dengan manis oleh para wanita cantik.

Meski tak paham betul nilai filosofis dari tarian tersebut, lantunan nada yang keluar dari alat musik Saron dan Suling Balawung serta paras cantik para penarinya membuat saya larut.

Untungnya saya tak terlalu larut, bukan karena saya termakan dengan banyaknya mitos atau lebih tepatnya rumor negatif soal wanita Dayak, namun karena memang fokus saya bukan kepada mereka tapi ke hal lain yang lebih indah yakni cara orang-orang Dayak melestarikan budayanya. Tadi cuma intermezzo saja.

Kebudayaan memang bukan sekadar menjadi barang dagangan, ini peninggalan leluhur yang harus di lestarikan. Kalau bukan kami sebagai warga Dayak, siapa lagi yang melakukan hal ini. Generasi muda sekarang belum semuanya peduli dengan hal seperti ini.

Pernyataan ini diungkap oleh Eddy Di.M. Engkan, salah satu pengrajin budaya warga Dayak. Eddy bertempat tinggal di Jakatan Raya, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Palangka Raya. Namun, hasil kreasi tangannya di jual ke Ukus,  yang  bertempat tinggal di Tambung Malahui, Kabupaten Gunung Mas, Palangka Raya.

"Sudah lebih dari 2 tahun saya membuat kerajinan budaya warga Dayak. Kemampuan saya membuat barang ini bukan keahlian yang di dapat dari belajar di sekolah, tapi memang sudah di atur yang Maha Kuasa," kata Eddy di Tambung Malahui, Palangka Raya.

Eddy mencontohkan sebuah lukisan yang dibuat di dasari cerita mengenai leluhur warga Dayak. Lukisan yang berjudul 'Kayu Erang Tingang Mamua Bulau Tampung Penyang' dibuatnya dalam waktu 2 hari, padahal menurutnya ia sudah sangat lupa dengan cerita tersebut,

"Singkatnya, cerita ini mengisahkan sebuah pohon besar yang batangnya diyakini warga Dayak sebagai asal mula sumber padi/beras. Kalau goresan berjumlah tujuh di lukisan ini, menceritkan bahwadunia  ini  terbagi  menjadi  tujuh  lapis. Saya tidak bisa menjelaskan secara rinci cerita ini. Karena memang bukan tugas saya," jelas Eddy.

Bukan sembarang orang bisa menceritakan seluruh cerita dari lukisan tersebut. Menurut Eddy,Warga Dayak yang bisa menceritakan soal cerita leluhur disebut  mengsana, artinya orang yang bisa menceritakan cerita leluhur mereka.

"Jika orang Dayak atau di luar Dayak ingin mendengar cerita, bisa saja meminta tolong kepada mengsana. Mengsana sebenarnya warga Dayak berusia tua yang nanti jika diminta menceritakan soal sejarah orang Dayak akan dirasuki oleh arwah leluhur kita. Tetapi hal ini bisa dilakukan pada malam hari, dan ada syarat tertentu yang harus dipenuhi," jelas Eddy.

Namun lanjut Eddy, saat ini kehadiran  mengsana  di tengah masyarakat yang sudah modern sudah tidak terlalu sering seperti dulu. Orang sekarang kata Eddy seperti sudah membantah hal-hal berbau kearifan lokal seperti mengsana itu. Kondisi sosial yang memang kita temui pada hari ini. 

Ketika saya mencoba untuk menggali bagaimana proses pengerjaan lukisan  'Kayu Erang Tingang Mamua Bulau Tampung Penyang' Eddy mengaku hanya menggoreskan tinta di atas kanvas lalu mengerjakan seperti apa yang ada di dalam pikirannya, 

"Seperti mendapat ilham. Dalam waktu 2 hari saya bisa menyelesaikan lukisan tersebut. Sayapernah melihat  gambar ini dulu sekali waktu muda. Saya melihat gambar ini di salah satu tempat bersejarah warga Dayak," imbuh Eddy.

Saat ini menurut Eddy, warga Dayak dan luar Dayak lebih mengenal batang garing (lukisan khas Dayak). Padahal, masih banyak cerita-cerita leluhur warga Dayak yang belum pernah diketahui.

"Lukisan Kayu Erang ini jarang diketahui, karena mungkin banyak orang tidak pernah melihat lukisan ini. Supaya orang Dayak dan orang di luar Dayak bisa mengetahui kisah ini," jelas Eddy.

Sementara itu, Ukus yang rumahnya menjadi tempat menjajakan barang kreasi Eddy menuturkan, "Bukan sembarang berjualan barang-barang saja, tetapi seperti sudah ada kewajiban untuk saya melestarikan apa-apa yang menjadi warisan nenek moyang, ini lebih penting untuk warga Dayak,"jelas Eddy.

Ukus sendiri telah 4 tahun lebih berjualan barang-barang khas budaya warga Dayak. Mulai dari mandau (senjata khas warga Dayak), wajo (topi khas warga Dayak), kelembit (perisai khas warga Dayak), anjat (tas yang terbuat dari anyaman rotan), ulap doyo (kain dari serat daun doyo yang bisa dijadikan pakaian), manik (kerajinan manik-manik khas warga Dayak), dan berbagai lukisan seperti yang disebut diatas.

"Secara penghasilan memang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menghidupi anak dan istri,"terang Ukus.

Ukus sadar betul tugasnya bukan sembarang menjual barang-barang layaknya pedagang lain, ia mengaku seperti ada panggilan moral untuk dirinya, bukan sekedar berdagang namun juga harus fasih menjelaskan benda-benda yang ia jual kepada pembeli,

"Tentu berbeda, jika pedagang lain memberikan informasi mengenai barang dagangannya, bisa betul bisa salah. Kalau saya harus hat-hati, tidak sembarang menyampaikan informasi mengenai satu barang. Inikan budaya leluhur, salah-salah kelestariannya akan terancam," tutup Ungkus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun