Tulisan pak Aman Made yang berjudul Tarif MRT Jakarta, Begini Perhitungannya 'menyelamatkan' saya hari ini. Berkat tulisan beliau, saya menjalankan tiga hal baik di hari ini. Saya tidak sedang mengkritisi tulisan pak Made tersebut, malah berkat tulisan itulah saya kembali membongkar arsip foto dan tulisan saya tentang kereta api.
Maklum saja semenjak duduk di bangku perkuliahan sampai bekerja, saya ialah pengguna jasa kereta api. Hal baik pertama yang saya lakukan hari ini berkat tulisan pak Made ialah menyelamatkan sejumlah foto para pengamen di dalam KRL Bekasi - Jakarta Kota yang berada di hard disc yang lama tak saya sentuh.
Berkat menemukan foto-foto itu, saya juga kembali bersilahturahmi dengan kawan lama, para pengamen di dalam foto itu, lewat jejaring Facebook. Itu hal baik kedua yang saya lakukan hari ini. Lama tak bersua dengan mereka membuat saya merasa berdosa. Bagaimana tidak, sewaktu pertama bekerja sebagai kuli tinta, tulisan saya tentang mereka di muat di koran tempat saya bekerja. Sayang saya tak menemukan potongan koran tersebut.
Senang rasanya bisa kembali bercengkrama dengan kawan lama ini. Sedikit menghela nafas saya saat ternyata mereka masih tak berubah gaya komunikasinya. Mereka tak menganggap saya sombong meski lama tak mengobrol. Meski hanya berkomunikasi via pesan Facebook, ada rindu yang terobati. Kami rencananya akan bertatap muka di waktu yang pas.
Selepas komunikasi dengan mereka, ditemani dengan segelas kopi hitam, saya mencoba mengingat-ingat kembali perjumpaan dengan mereka, dan segala aktifitas yang terjadi selama saya menjadi penumpang KRL. Tentu saja tidak seperti KRL saat ini yang para penumpangnya seperti mahluk ansos, dulu saat masih harga tiket Rp 1500 hingga 2000-an, kondisi di dalam gerbong kereta sangat manusiawi.
Maksudnya manusiawi dalam ukuran saya, tiap orang yang berada di dalam gerbong tidak hanya menunduk terus menatap benda mati. Masih ada senyum yang mengembang dari para penumpang saat para penjual menawarkan barang dagangannya.
Tak hanya melemparkan senyum atau mengangkat tangan jika tak mau membeli barang dagangan para penjual, jika naik KRL di waktu siang hari lepas pukul 11:00 siang, kepala kita akan mengangguk-angguk saat lantunan dana yang mungkin tak karuan keluar dari bass betot, gitar, tam-tam para pengamen KRL Jabodetabek.
Suara penjual yang berteriak-teriak dengan logat dan nada yang khas disertai dengan gaya berbeda-beda seperti menggantungkan barang dagannya ke besi yang berada di atas gerbong, atau membagikan satu-satu barang dagangan ke paha kita menjadi pemandangan yang khas saat naik KRL pada kala itu. Suara penjual ini kemudian bercampur aduk dengan suara drum tam-tam jika kelompok pengamen mulai mentas.
Dari situlah awal perkenalan saya dengan para pengamen ini. Siang itu, suasana terik stasiun kota Bekasi tak menghalangi sekelompok pemuda untuk mengais rejeki dari dalam gerbong si ular besi ini. Alvi, Adnan, Maman, Rudi, Deri, Oplak, Hendar, Yadi, serta Komeng bersemangat untuk bisa memperoleh peruntungan dari jiwa-jiwa sosial para pengguna jasa kereta api.
Oplak mengatakan saat itu kalau tidak salah, kami mengobrol usai mereka membawakan beberapa lagu pop yang tengah nge-hits kala itu, seperti lagu Sandy Sandoro-Malam Biru, Seventeen, dan Naif. Oplak bersama Rudi dan Hendar ialah pengamen dari kelompok ini yang sempat merasakan bangku perkuliahan.
Yang menarik dari kelompok pengamen ini adalah, selain tiga orang anggotanya berkuliah, anggotanya yang lain juga sempat merasakan bersekolah musik di Jakarta dan Yogyakarta. Alvi sempat mengingat pertanyaan pertama saya saat mengobrol dengan mereka saat itu, 'Kok gak coba masuk dapur rekaman bang?"
Dari pertanyaan itulah yang membuat mereka mengaku langsung klop dengan saya. Tanpa banyak basa-basi, langsung tembak, begitu kata Alvi. Saya hanya senyum-senyum sendiri mengingat itu. Kalau tidak salah, Hendar yang saat itu menjawab. Pria yang bermain pianika itu menjawab dengan cerdas.
" Sulit untuk masuk dapur rekaman, ga sedikit kan uang yang harus kita keluarkan. Ada seh cita-cita ingin kesana, tapi semua kan butuh proses. Mengamen adalah proses menuju kesana" kata Hendar saat itu.
Deru kehidupan melaju sangat cepat seperti laju kereta yang membawa penumpang ke tempat tujuan mereka masing-masing. Perhentian sesaat akan tercipta jika sudah sampai pada stasiun berikutnya, menurunkan mereka yang ingin turun, dan setelah kembali melaju sampai ke stasiun paling akhir.
"Kita tidak selamanya seperti ini, sewaktu-waktu kita pun ingin turun di pemberhentian berikunya. Maksdunya berhenti mengamen di kereta dan manggung di cafe-cafe atau acara musik lainnya. Seperti yang bang Hendar bilang, ini cuma bagian proses menuju kesana." kata Adnan
Laju zaman sekarang sudah berubah sedemikan cepat. Mereka pun kini sudah tak lagi mentas di dalam gerbong setelah ada aturan baru soal larangan pengamen dan pedagang berkeliaran di dalam kereta. Mereka pun sudah tak lagi berkumpul di stasiun Klender pada sore hari untuk menghitung uang hasil ngamen, kini mereka semua sudah memiliki kehidupan baru seperti juga dengan kondisi kereta saat ini yang juga memiliki tampilan baru.
Meski tak bisa lagi mengais rezeki di dalam kereta, mereka masih memiliki jalan untuk terus hidup dan berkarya. Mereka tak mau tergerus zaman dan lalu mati. Di akhir dialog saya dengan mereka via pesan Facebook, mereka mengingatkan lagi soal penutup obrolan kami di waktu itu soal semangat untuk terus hidup apapun kondisinya. Kira-kira kata-katanya seperti ini,
"Kita masih muda, jadi harus terus berjuang. Kalo dapat masalah terus kita udah meninggalkan apa yang mau kita raih, yah sama aja kita udah mati muda"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H