Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengingat Lagi Saat Drum Tam-tam Bercampur Aduk dengan Teriakan Pedagang di Dalam Kereta

21 Oktober 2018   18:45 Diperbarui: 22 Oktober 2018   19:15 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang menarik dari kelompok pengamen ini adalah, selain tiga orang anggotanya berkuliah, anggotanya yang lain juga sempat merasakan bersekolah musik di Jakarta dan Yogyakarta. Alvi sempat mengingat pertanyaan pertama saya saat mengobrol dengan mereka saat itu, 'Kok gak coba masuk dapur rekaman bang?"

Dari pertanyaan itulah yang membuat mereka mengaku langsung klop dengan saya. Tanpa banyak basa-basi, langsung tembak, begitu kata Alvi. Saya hanya senyum-senyum sendiri mengingat itu. Kalau tidak salah, Hendar yang saat itu menjawab. Pria yang bermain pianika itu menjawab dengan cerdas.

" Sulit untuk masuk dapur rekaman, ga sedikit kan uang yang harus kita keluarkan. Ada seh cita-cita ingin kesana, tapi semua kan butuh proses. Mengamen adalah proses menuju kesana" kata Hendar saat itu.

Deru kehidupan melaju sangat cepat seperti laju kereta yang membawa penumpang ke tempat tujuan mereka masing-masing. Perhentian sesaat akan tercipta jika sudah sampai pada stasiun berikutnya, menurunkan mereka yang ingin turun, dan setelah kembali melaju sampai ke stasiun paling akhir.

"Kita tidak selamanya seperti ini, sewaktu-waktu kita pun ingin turun di pemberhentian berikunya. Maksdunya berhenti mengamen di kereta dan manggung di cafe-cafe atau acara musik lainnya. Seperti yang bang Hendar bilang, ini cuma bagian proses menuju kesana." kata Adnan

Laju zaman sekarang sudah berubah sedemikan cepat. Mereka pun kini sudah tak lagi mentas di dalam gerbong setelah ada aturan baru soal larangan pengamen dan pedagang berkeliaran di dalam kereta. Mereka pun sudah tak lagi berkumpul di stasiun Klender pada sore hari untuk menghitung uang hasil ngamen, kini mereka semua sudah memiliki kehidupan baru seperti juga dengan kondisi kereta saat ini yang juga memiliki tampilan baru.

Meski tak bisa lagi mengais rezeki di dalam kereta, mereka masih memiliki jalan untuk terus hidup dan berkarya. Mereka tak mau tergerus zaman dan lalu mati. Di akhir dialog saya dengan mereka via pesan Facebook, mereka mengingatkan lagi soal penutup obrolan kami di waktu itu soal semangat untuk terus hidup apapun kondisinya. Kira-kira kata-katanya seperti ini,

"Kita masih muda, jadi harus terus berjuang. Kalo dapat masalah terus kita udah meninggalkan apa yang mau kita raih, yah sama aja kita udah mati muda"

Dokpri
Dokpri
Tulisan ini menjadi kebaikan ketiga yang saya lakukan hari ini setelah membaca tulisan pak Made serta bercengkrama dengan para sahabat lama. Terima kasih ilmunya kawan-kawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun