Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bermain untuk Timnas, Hak atau Kewajiban?

13 Oktober 2018   13:11 Diperbarui: 13 Oktober 2018   14:04 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suporter Timnas Indonesia | semarak.news

Manajer Sriwijaya, Ucok Hidayat seperti dikutip dari bolaskor.com mengatakan bahwa ada paksaan dan ancaman dari PSSI kepada sejumlah pemain Laskar Wong Kito untuk membela Timnas Indonesia.

"Mereka (PSSI) tidak mengancam ke kita, tapi ke pemain. Diancam. Beto diancam. "Kalau kamu umpamanya bermain hari ini." Pemain kan takut, apalagi naturalisasi," kata Ucok.

Lima pemain Sriwijaya FC memang dipanggil Timnas untuk mengikuti sejumlah laga Timnas yang masuk dalam kalender FIFA. Kelima pemain itu ialah Samuel Christianson, Syahrian Abimanyu (Timnas U-19), Alberto Goncalves, Esteban Vizcarra, dan Zulfiandi (Timnas senior).

PSSI yang tengah mendapat sorotan dari banyak kasus tak tinggal diam karena pernyataan manajer Sriwijaya FC ini, lewat kepala hubungan media dan promosi digital PSSI, Gatot Widakdo, PSSI membantah adanya paksaan dan ancaman terkait pemanggilan pemain ke Timnas.

Dinukil dari goal.com, Gatot mengatakan bahwa pemanggilan tersebut sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. "Soal pemanggilan pemain timnas. sesuai regulasi FIFA. Setiap klub punya kewajiban melepas pemain pada setiap laga FIFA match day, jadi inilah dasar pemanggilan pemain bukan ancaman," kata Gatot.

Merujuk pada Pasal 36 ayat 2 Statuta FIFA memang disebutkan klub dan pemain harus menghormati panggilan dari federasi. Asalkan, agenda tersebut masuk dalam kalender resmi FIFA.

Jika merujuk pada aturan FIFA tersebut, apakah kemudian setiap pemain profesional wajib untuk bermain untuk Timnas? Lantas bagaimana jika jadwal matchday tersebut berbenturan dengan kewajiban profesional mereka membela klub?

Kasus seperti ini sebenarnya bukan hal baru, di 2013 misalnya PSSI pernah menjatuhkan sanksi kepada 21 pemain Indonesia Super League (ISL) dan satu dari Indonesian Premier League (IPL) karena menolak bermain untuk Timnas. Para pemain tersebut mendapat sanksi larangan bermain selama 6 bulan.

Mundur 2 tahun, kasus sama juga dilakukan oleh mantan pemain Manchester United, Park Ji Sung. Ji Sung saat itu menolak pemanggilan dari Timnas Korsel karena menghormati kontrak profesionalnya dengan klub, Manchester United. Namun berbeda dengan PSSI, federasi sepakbola Korsel tak kebakaran jenggot dan memberi sanksi kepada eks pemain PSV itu. Ia tetap bisa melanjutkan kariernya dan membela Timnas Korsel di kesempatan lainnya.

Berkaca pada tigas kasus di atas sebenarnya pihak federasi-lah yang harus memahami bagaimana pemain yang sudah profesional juga memiliki tanggung jawab untuk menjalankan kontraknya. Persoalan hak atau kewajiban soal membela Timnas, saya berpendapat saat seseorang sudah menjadi pesepakbola profesional, impian utamanya tentu saja menjadi pemain hebat di klub dan membanggakan Timnas.

Menarik pemain yang sudah profesional untuk bisa membela Timnas dengan berpedoman pada statuta FIFA dimana pemain juga memiliki hak untuk menolak bukan lantas memberi judge ke pemain bahwa ia tidak nasionalis dan kemudian memberinya sanksi. Justru jika logika itu yang digunakan membela Timnas sama saja dengan kondisi bela negara yang sebenarnya sangat berbeda konteks.

Pada kasus yang lebih ekstrem soal membela Timnas sama dengan artinya bela negara pernah terjadi di Iran. Dua pesepakbola Iran, Masoud Shojaei dan Ehsan Hajsafi mendapat sanksi dari federasi sepakbola Iran hanya karena mereka menghormati klub yang mereka bela, Panionios FC.

Dua pemain Iran tersebut tidak diperbolehkan membela Timnas Iran karena bermain untuk Panionios FC melawan klub Israel, Maccabi Tel Aviv di Liga Europa. "Keduanya sudah tidak lagi mendapat tempat di Timnas Iran," kata Mohammad Reza Davarzani, wakil menteri olahraga Iran.

Sontak saja hal tersebut mendapat banyak kritik. James Dorsey, penulis buku The Turbulent World of Middle East Soccer mengatakan bahwa kondisi seperti ini memang lazim digunakan federasi sepakbola di kawasan Timur Tengah untuk memaksa pemain profesional mereka menyalahi aturan kontrak.

"Itu adalah sepakbola gila. Mereka memandang bermain untuk Timnas sama dengan harus mematuhi semua aturan negara meskipun hal tersebut berdampak pada si pemain yang sudah profesional. Mereka tak mempedulikan hal tersebut," kata Dorsey.

Di Indonesia sendiri publik juga sepertinya tak memahami betul persoalan ini. Kita bisa melihat lagi bagaimana cara-cara Edy Rahmayadi misalnya saat menghardik kiper Sampdoria, Emil Audero yang menolak bermain untuk Timnas Indonesia. Pun dengan cara-cara PSSI dan publik sepakbola menghakimi Andri Syahputra.

Padahal jika berkaca kasus pemain Sriwijaya di atas misalnya ada cara-cara pemaksaan dan ancaman kepada pemain untuk membela Timnas, pun ada cara-cara yang tak profesional jika melihat dari kasus Emil dan Andri yang dilakukan federasi. Cara tak profesional di kasus Andri Syahputra pernah saya bahas di artikel ini > Pemain Muda Indonesia Banyak Main di Luar Negeri, Siapa Kelak Bawa Kejayaan?

Persoalan kemudian jika si pemain mendapat sanksi dari klub karena menyalahi kontrak, federasi tentu saja akan lepas tangan. Hal ini yang tentu saja dihindari oleh si pemain. Sedangkan di level klub, bahaya cedera dan kebutuhan skuat untuk laga di kompetisi tentu jadi pertimbangan yang seharusnya bisa dipikirkan ulang oleh federasi.

Seorang Jose Mourinho saja bisa murka saat pemainnya harus cedera karena membela Timnas Inggris. Pria Portugal itu mengkritik jadwal laga persahabatan yang terlalu padat. "Saya benar-benar ingin melakukan perlawanan terhadap pertandingan persahabatan," kata Mourinho.

Artinya masalah membela Timnas tentu saja ialah hak dan kewajiban bagi seorang Timnas. Hal ini harus dipandang dari dua sisi tersebut, tujuannya agar si pemain juga bisa terjaga kewajibannya yang tertuang di kontrak profesional dan tentu saja itu berhubungan dengan jadwal kompetisi.

Nah jika kemudian seperti di kasus pemain Sriwijaya, pihak PSSI menyebut bahwa soal jadwal kompetisi itu yang mengatur ialah operator bukan federasi,

"Soal jadwal kompetisi Liga. Ini semua yang membuat operator liga bukan PSSI. Jadi, merekalah yang mestinya menyesuaikan jadwal laga liga dengan FIFA match day," kata Gatot Widakdo.

Maka merujuk pada pernyatan Gatot tersebut, suara untuk merombak federasi sepertinya memang harus diperkuat, pasalnya para petinggi di PSSI juga menjadi petinggi operator Liga 1 2018, seperti Direktur Utama PT LIB, Berlinton Siahaan yang juga menjabat Bendahara PSSI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun