Artikel berjudul Surat Terbuka untuk Pendukung Persib Bandung yang ditulis oleh Boris Toka Pelawi mengusik saya. Pendapat saya, artikel itu tidak menyehatkan di tengah kondisi berkabung sepakbola nasional dan di situasi semua pihak mencari solusi penyelesaian.
Saya paham bagaimana mas Boris sudah muak dengan tingkah laku para suporter yang acapkali membuat ibu Bumi tersiram darah manusia, siapa juga yang tidak muak dengan kondisi miris ini. Namun saya pribadi merasa bahwa menyudutkan mereka para suporter bukan jadi hal positif jika kita semua ingin mata rantai kekerasan ini berakhir.
Pertama, saya ingin sedikit mengoreksi soal larangan bagi Jakmania untuk datang ke GBLA di akhir pekan lalu, itu memang sudah jadi langkah antisipasi dari pihak keamanan untuk mencegah tragedi seperti itu. Namun saya sepakat bukan berarti larangan itu kemudian menjadi pembenaran bagi para pelaku membunuh Harilangga.
Kedua, saya juga mengoreksi soal perumpaan mas Boris soal Persib bukan Barcelona, Persija bukan Real Madrid, saat kedua kelompok ini bertemu tetap damai-damai saja di Spanyol. Sepengetahuan saya, laga keduanya juga tak jauh dari potensi konflik antar suporter. Coba saja tengok aksi suporter Real Madrid bernama Ultra Sur, presiden Real Madrid Flo Perez sampai dibuat geleng-geleng kepala karena aksi mereka.
"Mereka menggunakan pisau, tongkat baseball... Orang-orang baru berpikir bahwa para pemimpin (generasi pendukung Madrid) tua sedang menghasilkan uang dari Ultras Sur. Setelah sengketa ini, Ultras Sur berada di bawah kendali dan menjadi lebih ganas," kata salah satu suporter Real Madrid.
Tapi memang konflik antar kedua suporter ini jarang terjadi karena memang ada aturan yang sinergis antara pengelola La Liga, klub, dan kepolisian. Hampir sama dengan Inggris, di Spanyol ada aturan 'bubble match'-- Tirto.id membahas soal aturan ini secara lengkap.
Ketiga soal argumen mas Boris yang tidak sepakat kalau para bobotoh yang membunuh tersebut disebut oknum. Faktanya hampir di semua kalangan suporter melakukan itu, tidak hanya bobotoh. Mengapa itu disuarakan? Karena memang faktanya para pelaku yang melanggar hukum ini, mayoritas ialah mereka yang tidak masuk ke dalam sistem kelembagaan suporter.
Untuk kasus pembunuhan suporter Persita Tangerang, Banu Rusman misalnya, dugaannya ialah orang berambut cepak yang identik dengan aparat keamanan, lantas apakah kelompok PSMS Medan mau para pelaku itu disebut sebagai bagian dari mereka? Jangankan mau disebut oknum, PSSI pun lewat sang ketum saat di acara Mata Najwa berkelit lidah untuk kasus ini.
Selain itu, permasalahan suporter ini tak bisa diselesaikan dengan menyudutkan pihak suporter semata. Akar masalah dari permasalahan suporter ini harus diurai satu demi satu dgn pikiran tak menghakimi namun memberi solusi konkrit -- bukan solusi soal sanksi, denda dsb --
Bagi saya solusi konkrit bukan hanya peran pemerintah, PSSI, atau suporter itu sendiri tapi kita sebagai masyarakat Indonesia. Jika membiarkan suporter menyelesaikan masalah ini sendiri, itu sama saja kita membuat sekat baru untuk mereka, kondisi ini yang makin menyudutkan suporter.
Menyudutkan kelompok suporter bukan jadi jalan keluar untuk menyelesaikan ini semua. Mereka memiliki pola pikir yang sebenarnya sama dengan kita yang bukan suporter. Kesamaan pola pikir itu yang sebenarnya abai untuk dipertemukan, baik oleh PSSI sebagai pengurus sepakbola negeri ini, juga dari kita sebagai masyarakat yang sangat apriori dengan banyak hal positif dari para suporter.
Saya tak sependapat jika kemudian masalah suporter ini kemudian ditanggung sendiri oleh insan sepakbola, ini seolah-olah menempatkan mereka yang suka bola memiliki dunia berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
Jika kita semua mau terbuka baik keluarga Harilangga, serta keluarga korban sebelum kasus Harilangga dan para pendukung klub, baik bobotoh, jakmania atau suporter lain juga menjadi korban dari lingkaran setan bobroknya kepengurusan PSSI. Lantas sekarang solusinya apa?
Saya pribadi sejak kematian (alm) Ricko Andrean di GBLA tahun lalu, sempat memberikan ide atau gagasan untuk penyelesaian masalah ini. Saat masih bekerja di salah satu media online, saya memberikan gagasan soal bagaimana peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah lain --bukan polisi, tentara -- untuk mengelola energi berlebih para suporter ini.
Saya lalu berpikir soal kerja-kerja kreatif para suporter yang sangat jarang diketahui oleh masyarakat awam. Apakah masyarakat tahu bagaimana sejumlah suporter dari Semen Padang memiliki kerja kreatif membuat animasi yang kualitasnya menurut pendapat saya setara dengan animasi kreator kenamaan, jika tak percaya silahkan tengok akun sosial media, Cerita Kabau Sirah.
Tidak hanya itu, suporter PSS Sleman, Brigada Curva Sud (BCS) juga melakukan kerja kreatif, mulai dari membuat industri kreatif untuk membuka lapangan kerja baru di basis suporter -- Konsep berdiri di atas ekonomi sendiri (berdikari) diterapkan nyata oleh BCS. BCS tercatat membangun unit-unit usaha seperti distro CSS Shop, CS Mart, CS Pegadaian (untuk membantu anggota yang kesulitan dana saat away) dan CS Magazine.
Bahkan banyak aksi koreografi 3D BCS yang sudah banyak dipuji kalangan suporter dunia internasional. Pun dengan bobotoh, sepengetahuan saya, kerja kreatif bobotoh juga tak kalah hebatnya.
April 2018 lalu misalnya, aksi koreo 3D para bobotoh juga mendapat apresiasi dari kelompok suporter internasional. Soal industri kreatif, bobotoh pun juga menyelaminya. Mereka paham bagaimana mandiri membangun ekonomi kreatif.
Juga di basis Jakmania. Kalangan suporter Jakmania juga sangat cerdas di kerja-kerja kreatif. Pernah mendengar nama Legendary 1928? kelompok suporter Jakmania ini secara tekun membuka kembali literasi sejarah yang sangat bermanfaat untuk khasanah pengetahuan untuk Jakmania lainnya. Soal industrik kreatif, jakmania juga melakukannya.
Ada juga kelompok suporter Komunitas Bawah Skor Mandala yang yang fokus pada pengarsipan sejarah sepakbola nasional khususnya PSIM Yogyakarta. Dari kerja-kerja kreatif suporter inilah timbul gagasan bagaimana jika ada peran negara dan masyarakat untuk mewadahi, meluaskan, dan memasifkan hal positif itu semua.
Bukankah kita punya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang memiliki 16 subsektor dari industri kreatif yang wajib dikembangkan, mulai dari aplikasi dan pengembangan game, arsitektur dan desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fesyen, film, animasi video, fotografi, kriya (kerajinan tangan), kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televisi dan radio. Ke-16 subsektor ini ialah 'pekerjaan sehari-hari' para suporter yang jarang mendapat tempat di masyarakat.
Saya bukan seorang bobotoh atau jakmania, saya pencinta sepakbola yang juga masyarakat Indonesia, itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H