Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Keputusan Penghentian Liga 1 Terlalu Prematur

26 September 2018   07:59 Diperbarui: 26 September 2018   13:07 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa mengurangi rasa belasungkawa yang sedalam-dalamnya untuk keluarga korban konflik antar suporter di Indonesia, saya berpendapat keputusan dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk menghentikan Liga 1 2018 sampai batas waktu yang belum ditentukan semata ialah keputusan prematur.

Penghentian tanpa batas waktu kompetisi sepakbola menurut hemat saya akan menimbulkan banyak masalah baru bagi perkembangan sepakbola di Tanah Air. Sebelum masuk apa saja masalah-masalah tersebut, kita di awal harus sepakat bahwa PSSI memang jelas gagal mengurus sepakbola nasional, selanjutnya bahwa konflik antar suporter ini memiliki dimensi beragam yang harus dilihat dan dikaji secara mendalam.

Pertama soal PSSI gagal mengurus sepakbola nasional, saya sangat tidak setuju dengan jawaban dari Ketum PSSI, Edy Rahmayadi yang menyebut bahwa soal suporter ini bukan masuk ranah PSSI. Di dalam tupoksi memang jelas bahwa suporter bukan ranah kerja wajib PSSI, namun suporter ialah bagian penting dari sepakbola. Mengabaikan suporter sama saja mematikan sepakbola.

Kedua soal konflik antar suporter yang sudah menahun ini, sampai di titik adanya keputusan dari PSSI, masalah ini dipandang hanya dari dimensi fanatisme sepakbola. Saya justru berpendapat bahwa konflik antar suporter di Indonesia melebihi fanatisme sepakbola, harus ada kajian sosilogis untuk bisa mengurai akar permasalahan suporter ini.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun beberapa waktu lalu sempat saya tanyakan pendapatnya mengenai konflik antar suporter ini, khususnya konflik antar Jakmania dengan Bobotoh. Ia berpendapat bahwa dari kajian sosiologis sebenarnya konflik antar suporter memiliki pola kekerasan yang sebenarnya dikonstruksikan oleh negara.

"Pihak keamanan tidak perlu mendramatisir hal ini. Jangan membuat seolah-olah Bandung dan Jakarta akan selalu ciptakan chaos. Bentuk-bentuk vandal yang terjadi antara The Jak dengan Bobotoh sebenarnya juga karena faktor ketidakberhasilan para aparat untuk meredakan konflik ini," kata Ubedilah.

Ubedilah mengambil contoh saat laga Final Piala Presiden 2015 lalu. Aparat keamanan bertindak terlalu offensif. Padahal laga tersebut bukan Persib vs Persija yang bertanding namun Sriwijaya vs Persib yang kebetulan bertempat di Stadion Gelora Bung Karno.

Ubedilah mensinyalir adanya pola strategi bisnis keamanan melihat pola dramatisir yang dilakukan pejabat dan aparat melihat konflik suporter ini. "Kita memang harus mencari bukti-bukti empiris yang mendukung ke arah tersebut. Karenanya aparat cukup masuk ke dalam pendekatan yang lebih rasional untuk cegah konflik," kata Ubedilah.

Dipandang dari segi kultur masyarakat Jakarta dan Bandung, Ubedilah melihat tidak ditemukannya kultur kekerasan antar kedua masyarakat tersebut. Artinya konflik antara The Jak dan Bobotoh bukan berdasar kultur masyarakat namun lebih kepada tidak mampunya aparat terkait untuk mengatur dengan jelas potensi-potensi gesekan yang tercipta -- pun di kasus Haringga Sirilla, meski Polrestabes Bandung seperti di acara Indonesia Lawyer Club mengatakan bahwa sebelum pertandingan pihak kepolisian sudah memberikan sejumlah saran untuk mencegah terjadi bentrok, namun kejadian di lapangan membuktikkan bahwa usulan tersebut tak berguna --

Aparat dan pemerintah harus melihat hal itu, melihat kajian-kajian sosilogis dan budaya untuk bisa meredamkan potensi konflik yang tercipta antara semua basis suporter di Tanah Air, tidak hanya Jakmania dan Bobotoh.

Kembali ke persoalan yang bakal timbul di keputusan PSSI menghentikan sementara Liga 1 sampai batas waktu yang belum ditentukan, saya melihat ada keputusan ini justru akan membuat PSSI di bawah kepemimpinan Edy Rahmayadi bakal menanggung dosa untuk sepakbola nasional.

Pasalnya penghentian Liga 1 bakal membawa masalah baru tidak hanya persoalan klub yang bakal kebingungan karena sudah terlanjur mengikat kontrak dengan pemain, atau persoalan pemain yang juga bakal kebingungan mau dikasah makan apa anak istrinya jika larangan ini memikiki durasi waktu tak jelas, matinya kompetisi sepakbola bakal membuat gesekan antra suporter di akar rumput lebih meluas.

Kondisi ini yang sebenarnya tak dicermati oleh pihak PSSI mengambil keputusan tersebut. Sepakbola tidak hanya di Jakarta dan Bandung, hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki wakilnya di kompetisi Liga 1. Penghentian Liga 1 ini tentu membuat basis suporter yang awalnya tak memiliki gesekan dengan basis suporter lain, dalam hal ini Bobotoh bakal mengeluarkan reaksi keras.

Saling tuding dan menyalahkan antar suporter di basis akar rumput sebenarnya bisa dilihat dari postingan di sejumlah sosial media sebelum PSSI keluarkan keputusan tersebut. Basis suporter yang merasa selama perhelatan Liga 1 ini tak melakukan tindakan melawan hukum justru akan sangat dirugikan dengan penghentian Liga 1 ini, siapa yang mereka salahkan? Tentu saja tragedi akhir pekan lalu di luar Stadion GBLA.

Bagi suporter di basis akar rumput, satu-satunya hiburan bagi mereka tentu saja sepakbola. Tidak hanya sekedar hiburan, sepakbola juga menanggung hajat hidup sebagian besar para suporter. Tengok saja sejumlah basis suporter yang coba berdaya secara ekonomi dengan menjual pernak pernik serta jersey tim kebanggaan mereka. Saat liga dimatikan, siapa yang bakal menanggung hidup mereka?

Apalagi kemudian setelah liga kembali digulirkan, PSSI kemudian tidak banyak melakukan terobosan anyar meredam konflik ini. Keputusan yang diambil kemudian hanya sekedar denda uang dan sanksi 'ringan' semata. Tentu saja hal itu makin memperuncing konflik antar suporter itu sendiri.

Tragedi yang menimpa Haringga Sirilla di Bandung akhir pekan lalu jelas kita semua mengutuk dan tidak ada satu alasan pun yang bisa membenarkan aksi bejat para pelaku, namun tidak hanya kejadian Haringga yang kita kutuk, kita pun wajib mengutuk dan menuntut PSSI serta aparat keamanan atas kejadian-kejadian berdarah lainnya.

Apa kabar kasus Banu Rusman, suporter Persita yang tewas dikeroyok orang berambut cepak di Stadion Mini Cibinong? Lalu kabar kasus Micko Pratama, bonek yang juga tewas dikeroyok di Solo? serta kasus-kasus berdarah lainnya yang selama ini jadi tanda tanya besar di kalangan suporter, bisakah PSSI memberi rasa keadilan untuk kasus-kasus yang lainnya juga?

Keputusan Edy Rahmayadi menghentikan kompetisi mungkin terinspirasi oleh Margaret Thatcher yang juga pernah mengeluarkan kebijakan penghentian liga, namun Edy tak akan pernah menjadi atau dikenang setegas si Wanita Tangan Besi itu jika kemudian tak berani menghukum klub besar yang basis suporternya memang melakukan tindakan melawan hukum.

Kesimpulannya, menghentikan kompetisi bisa datangkan masalah baru di kemudian hari. Keputusan yang tepat ialah memberikan hukuman ke semua klub yang suporter melakukan tindakan melawan hukum dalam periode 5 tahun ke belakang.

Apa hukumannya? tentu saja yang membuat jera, degradasi dan pengurangan poin. Lantas bagaimana suporternya? Berdayakan di ruang-ruang ekspresi yang bisa mendatangkan nilai ekonomis bagi kehidupan mereka, tentu saja di ranah ini PSSI bisa bersinergis dengan banyak lembaga negara, Bekraf misalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun