Tak bermaksud menghakimi namun instrospeksi kubro harusnya dilakukan semua pihak di sepakbola Indonesia. Sementara kita semua melakukan instrospeksi kubro, ada baiknya tinggalkan dahulu angan dan mimpi kita melihat Timnas Indonesia berprestasi. Jangan pernah berharap atau bahkan bermimpi sepakbola Indonesia bakal maju jika empati terhadap sesama suporter masih sangat minim.
Jangan juga para suporter lantas memberi alasan, di negara lain juga sering bentrok dan Timnas mereka berhasil. Faktanya nyawa di negara lain yang juga terjadi bentrok karena sepakbola tak semurah di negeri ini. Dan jika ingin berkaca, bentrok yang terjadi di sejumlah negara lain juga dilatarbelakangi oleh faktor yang lebih mengakar dibanding hanya karena saling hina.
Konflik antar suporter yang sudah terjadi beberapa tahun terakhir ini tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab kita sebagai masyarakat. Tidak ada peran nyata dari masyarakat untuk meredam konflik ini agar segera berakhir. Alih-alih mencoba keluarkan terobosan untuk meredam konflik, publik secara sadar atau tidak malah menumbuh sumburkan rasa benci dan dendam antar suporter. Hal itu bisa kita lihat dari postingan di sosial media.
Yang terposting di sosial media saat terjadinya kerusuhan antar suporter lebih banyak hinaan, makian, dan hardikan. Bahkan mereka yang tidak terlibat langsung dalam sepakbola dan tak mengenal kultur suporter sepakbolanya dengan entengnya mengatakan agar sepakbola ditiadakan dan lain sebagainya.
Bahkan publik, atau mereka yang mengetahui dengan jelas siapa saja orang-orang yang berlumuran darah Haringga tak berani membuka suaranya. Mereka lebih memilih bungkam dibanding harus menyerahkan, anak, kakak, adik, suami, atau kerabatnya yang memang memukuli dan menginjak-injak Haringga di Minggu kelabu itu.
Publik pun sepertinya memaklumi saat negara yang seharunya melindungi warganya termasuk suporter sepakbola melakukan tindakan keluar batas. Berprinsip Sallus publica supreme lex, negara lantas menghipnotis publik untuk tak mempermasalahkan saat pasukan hura hara, kendaraan lapis baja, hingga tim gegana muncul di stadion dengan alasan menghindari konflik antar suporter. Serendah itukah suporter hingga diperlakukan bak kelompok tak kemanusiaan?
Meski faktanya memang konflik sepakbola selalu hadirkan mereka yang terluka dan mereka yang merenggang nyawa, namun menunjukkan kekuataan dengan tajuk Polizei Staat bukan jadi solusi konkrit untuk meredam konflik antar suporter. Suporter sepakbola pada dasarnya tidak sebarbar mereka yang melihat sepakbola dengan kacamata kuda.
Kasus Haringga menurut pendapat saya ialah kasus kriminal yang dilakukan oleh mereka yang frustasi akan hidupnya, baik secara ekonomi ataupun eksistensi.
Mengutip dari status Facebook, Ketum Jakmania, Ferry Indrasyarif setahun lalu, "Hentikan! Jangan ada lagi luka. Luka fisik hanya meninggalkan trauma dendam. Jangan ada lagi tangis. Harus ada berapa lagi Ibu yang menangisi anaknya. Jangan ada lagi nyawa yang tersia-sia. Biarkan generasi penerus melanjutkan hidupnya dengan tenang." tulis Bung Ferry.
Selamat jalan Haringga, maafkan kami yang ikut andil atas penderitaanmu.