Bicara benua Afrika berarti membicarakan kemunduran peradaban manusia. Stigma itu terus melekat dari dulu sampai saat ini, tak peduli misalkan sejumlah negara di Afrika memiliki keunggulan di bidang tertentu.
Negara barat selalu memandang Benua Hitam sebagai kumpulan negara tak maju, jauh dari peradaban. Pemberitaan tentang negara di benua Afrika tak jauh dari bencana kelaparan, konflik bersenjata, hingga penyebaran virus mematikan, virus HIV/AIDS serta virus Ebola.
Kalaupun ada pemberitaan mengenai indahnya alam di Afrika, itu pun tak jauh dari eksploitasi kepada habitat di sana. Gajah Afrika diburu untuk didapatkan gadingnya atau perburuan kulit harimau untuk dijadikan barang-barang mewah, serta hal negatif lainnya.
Kondisi tak mengenakkan ini juga yang membentuk karakter orang Afrika, keras tanpa kenal kompromi seperti yang terlihat dari banyak pesepakbola Afrika di lapangan hijau. Sepakbola Afrika ialah ketangguhan, sepakbola Afrika ialah perjuangan.
Sulit bagi seorang pesepakbola di Afrika untuk bisa berkembang jika ia tak meninggalkan negaranya. Bukan soal tak kompetitifnya liga sepakbola di Afrika namun karena ada akar masalah yang tak jua terselesaikan di sejumlah negara di Afrika, utamanya negara-negara di luar kawasan Afrika Utara.
Di Afrika Selatan misalnya, para pesepakbola di sana setelah era politik apartheid berakhir harus bertarung dengan ancaman penyebaran virus mematikan HIV/AIDS. Sekilas soal virus HIV/AIDS, virus ini pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada 1981.
Awalnya virus ini menyerang 5 orang penyuka sesama jenis dan dianggap virus mematikan yang menyerang paru-paru. Sejumlah teori konspirasi pun berkembang soal mengapa pada akhirnya banyak orang Afrika terjangkit virus ini.
Di Afrika Selatan sendiri seperti laporan reuters, terdapat 6,8 juta penderita penyakit HIV/AIDS di periode 2016 dengan 180 ribu penderita merenggang nyawa. Pilihan untuk kaum muda di Afrika Selatan untuk tak terjangkit virus mematikan ini melalui sepakbola pun banyak terbentur kondisi tak mengenakkan.
Ancaman dari kelompok bersenjata hingga kesulitan untuk bisa bermain sepakbola karena tak adanya lapangan berujung pada kaum muda di Afrika Selatan terjebak di lingkaran setan penyebaran virus HIV/AIDS.
Pada kasus yang lebih parah, kampanye untuk membasmi virus HIV/AIDS di tingkatan kaum muda malah membuat pesepakbola dari Gambia, Ousman Manneh harus merasak dinginnya hotel prodeo.
Manneh yang sempat membela klub Bundesliga, Werder Bremen bersama rekannya yang juga pesepakbola Nanama Keita harus masuk penjara karena dianggap menyebarkan berita palsu soal banyaknya anak muda di Gambia yang terjangkit virus HIV/AIDS.
Ada sejumlah pihak di negaranya yang tak suka dengan aktifitas Manneh dan Keita membuat pelatihan sepakbola untuk anak muda demi terhindar dari virus HIV/AIDS. "Saya menghabiskan malamn di sel yang sangat bobrok penuh dengan nyamuk dan penyakit," kata Keita seperti dilansir dari allafrica.com
Beruntung Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) turun tangan dan memberika suaka kepada kedua pesepakbola ini. Meski sebenarnya suaka politik ini juga pilihan tak mengenakkan karena artinya kedua pesepakbola ini harus terusir dari negaranya sendiri karena melakukan hal positif.
Tak hanya soal virus HIV/AIDS, virus Ebola juga jadi hal yang mengungkung para pesepakbol di Afrika. Laporan dari Jim Tuttle di theplayerstribune.com memaparkan bagaimana kejamnya penyebaran virus Ebola yang mematikan ruang gerak anak muda di Afrika.
Dalam laporan yang difokuskan ke negara George Weah, Liberia tersebut saat pertama kali munculnya virus Ebola pada 2014, pemerintah Liberia mengeluarkan aturan yang melarang warganya beraktifitas diluar ruangan. Seketika kota-kota di Liberia menjadi kota hantu.
Namun ditengah serangan berbahaya daripada serangan teroris, sejumlah orang di Liberia memberanikan diri mempertaruhkan nyawa mereka untuk tetap menjalankan budaya di Liberia, bermain sepakbola.
Wajah-wajah penuh semangat dan antusias terlihat jelas di laki dan perempuan saat mereka berbondong-bondong datang ke lapangan sepakbola. Lapangan yang terlihat seperti kubangan kerbau di tengah sawah. Berlumpur dan basah.
Sepakbola jadi 'obat' mujarab bagi mereka dari virus Ebola. Sepakbola buat mereka tak gentar meski esok atau beberapa hari lagi bisa masuk rumah sakti dan merenggang nyawa karena Virus Ebola. Para pemuda di Liberia ini seolah berkata, "virus ebola tak membuat kami berhenti main sepakbola".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H