"Kalau gajinya, itu urusan Ketua PSSI, bukan urusan kalian. Ketua PSSI nanti yang menggaji. Kalau saya sampaikan di sini, memang media mau membayar?" kata Edy seperti dikutip dari Jawa Pos.
Edy tak menjawab apa yang menjadi masalah, ia justru menujukkan sikap seorang perwira komando. Sama bukan dengan jawaban yang ia lontarkan kepada para pendemo, tak menjawab masalah.
Saya sangat sependapat dengan artikel yang ditulis oleh Ikhsan Yosarie, peneliti dari Setara Institute di Harian Kompas, 30 Juli 2018 soal Neo-militeristik Sipil. Ia berpendapat bahwa fenomena ini menggambarkan bagaimana militerisme masih tumbuh dalam kalangan sipil.
Otoritarianisme dan militeristik, yang dibangun selama tiga dekade lebih, tampaknya tidak sekadar dibangun dengan basis struktural, tetapi kultural, yang tersosialisasikan secara turun-temurun, sehingga menciptakan pola pikir militer yang begitu kuat dan menyentuh masyarakat akar rumput.
Maka sudah seharusnya memang Edy Rahmayadi mengubah gaya komunikasi serta tindak tanduknya sebagai pejabat sipil. Ia sudah bukan lagi perwira dengan bintang tiga di pundak dan memiliki pasukan, ia adalah pelayan masyarakat, masyarakat Sumatera Utara dan masyarakat sepakbola Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H