Di era 60-an, federasi sepakbola Eropa (UEFA) membentuk kompetisi untuk klub-klub di Eropa yang tak bisa bermain di Piala Champions - cikal bakal Liga Champions. Pada 1960, UEFA meresmikan Piala Winners, kompetisi yang ditujukan untuk klub Eropa yang tak bermain di Liga Champions dan Piala Fairs - dua kompetisi kenamaan di era tersebut.
Ide dari diadakannya Piala Winners bermula dari ide sejumlah wartawan olahraga di Eropa yang merasa harus ada kompetisi lain di luar Liga Champions dan Piala Fairs yang diikuti klub yang bukan juara di kompetisis lokal mereka. Tujuannya agar klub-klub di Eropa semakin kompetitif.
Selang setahun berlangsungnya Piala Winners, UEFA lalu meresmikan kembali kompetisi lain bernama Piala Intertoto. Tujuan diadakannya Piala Intertoto seperti dinukil dari uefa.com untuk menambah jumlah peserta di Piala UEFA.
Sejumlah klub kecil di kompetisi lokal Eropa bisa memanfaatkan Piala Intertoto untuk bermain di Piala Winners. Tujuan diadakannya Piala Intertoto ini memang nyata berhasil membuat tim dari klub negara Eropa kecil berhasil berkiprah di arena Piala Winners.
Klub dari negara kecil Eropa seperti Siprus, Kazakhatan, hingga Slovenia sukses memenangkan gelar Piala Intertoto dan bermain di arena Piala Winners. Tak cukup dengan 3 kompetisi, Liga Champions, Piala Winners, Piala Intertoto, UEFA pada 1971 kembali melangsungkan kompetisi lain bernama Piala UEFA - sekarang bernama Piala Europa.
Seiring berjalannya waktu, dua kompetisi Piala Intertoto dan Piala Winners dihapuskan oleh UEFA. Alasan soal waktu bertanding yang lebih banyak dimainkan para klub di Eropa di satu musim kompetisi jadi salah satu alasan UEFA menghentikan dua kompetisi ini. Sementara Piala UEFA kemudian diubah formatnya dan kini bernama Piala Europa.
Setelah sekian lama vakum, seperti dikutip dari mirror.co.uk, UEFA kabarnya berkeinginan untuk menghidupkan kembali kompetisi di luar Liga Champions dan Liga Europa.
Kabarnya kompetisi baru tersebut akan mulai berlangsung pada musim 2021/22, dan akan diikuti oleh 96 klub kasta ketiga di Eropa.
Sepertinya dengan diadakannya kompetisi anyar tersebut, UEFA lebih melihat dari sisi bisnis semata. Saat ini sepakbola Eropa memang jadi pusat industri sepakbola dunia.
Berlangsungnya Liga Negara UEFA di tahun ini menjadi contoh nyata bagaimana benua Biru itu paham betul bagaimana mendapatkan pundi-pundi uang lewat pertandingan sepakbola.
Nah kita tinggal menunggu saja mereka yang kontra berbicara. Pasalnya jika melihat kondisi yang dahulu, bagaimana sejumlah pihak merasa UEFA terlalu menjadikan para pemain mereka sebagai sapi perah penghasil uang dengan terus mengikuti kompetisi.