Filsuf kenamaan Italia, Niccolo Machiavelli dalam karya terkenalnya Il Principe mengatakan bahwa manusia akan melakukan hal apa saja untuk mencapai tujuannya. Bagi Machiavelli, apappun cara yang digunakan tak jadi soal jika tujuannya berhasil diraih.
Jauh sebelum Machiavelli mengeluarkan ajarannya tersebut, di dunia pewayangan ada sosok yang sangat mirip dengan karakter 'manusia' Machiavelli, siapa lagi kalau bukan Sengkuni. Sengkuni ialah simbol kemunafikan, keserakahan, arogansi, dan keangkaramurkaan.
Apapun cara dilakukan Sengkuni untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Menerabas norma dan menghalalkan segala cara dilakukan oleh paman dari para Korawa ini. Di dunia sepakbola ada satu pemain yang menurut pendapat saya ialah Sengkuni, ia adalah bek kawakan Italia Marco Materazzi.
Pada 2016 lalu sebuah jajak pendapat yang dilakukan di Prancis menempatkan Materazzi jadi pemain paling dibenci orang-orang Prancis. Namanya mengungguli sejumlah pemain lain seperti Harald Schumacher, pemain Jerman yang menciderai Patrick Battiston.
Hasil jejak pendapat tersebut sebenarnya wajar, bagi publik Prancis eks pemain Inter Milan itu ialah tokoh antagonis saat memprovokasi legenda mereka, Zinedine Zidane di final Piala Dunia 2006. Namun apapun yang dipandang orang Prancis ke Materazzi, ia adalah pemain dengan raihan gelar Piala Dunia, Liga Champions, Scudetto Serie A, dan Coppa Italia.
Torehan gelar yang tak semua pemain mampu meraihnya. Soal bagaimana cara yang dilakukan Materazzi meraihnya, apakah benar atau tidak, itu memang bisa jadi perdebatan tersendiri. Seperti saat final Piala Dunia 2006, tentu saja Materazzi dengan lugas berperan sebagai sosok Sengkuni saat memprovokasi Zidane. Cara ini berhasil, Zidane dikartu merah, Prancis limbung, dan Materazzi mengangkat trofi Piala Dunia.
Jalan hidup seorang Materazzi memang berliku. Ditinggal meninggal oleh sang ibu di usianya masih 15 tahun tentu bukan hal mudah bagi seroang remaja, Materazzi menjalani hal pahit tersebut. Sang ayah, Giuseppe Materazzi di kala itu juga tengah meniti kariernya sebagai seorang pelatih.
Meski sang ayah sempat melatih di pelatih Lazio tak serta merta membuat Materazzi muda dengan mudah meniti karier di tim ibu kota tersebut. Awal karier Materazzi justru diawali dengan membela akademi Messina Peloro pada 1990 silam.
Setahun kemudian, Materazzi bergabung ke akademi Tor di Quinto. Lucunya setelah 2 tahun di akademi Tor di Quinto, Materazzi merasa kariernya di sepakbola tak akan bisa berkembang. Ia pun sempat tergoda untuk berkarier sebagai pemain bola basket. Ia sempat bergabung di salah satu klub amatir basket di Italia.
Nama Materazzi baru mulai dikenal publik sepakbola Italia 1996 silam, setahun setelah ia bergabung ke Perugia. Materazzi dianggap sebagai bek muda sekaras batu karang, ia memiliki postur tubuh tinggi, agresif, dan berkarakter keras di tiap laga. Materazzi pun memiliki insting menyerang yang juga sama baiknya.
Kembali ke karakternya yang sangat 'sengkuni', sejak masih main di Perugia ia tak linglung meski jadi pemain muda. Banyak sejumlah pemain senior di Serie A sempat bersitegang dengan gaya mengawal Materazzi yang menguras emosi mereka.
"Jika Anda menginginkan kemenangan, Anda harus menemukan caranya sendiri untuk mendapatkannya," kata Materazzi dalam sebuah wawacara dengan La Gazzetta dello Sport.
Setelah cukup puas menjadi seorang pemain dengan banyak gelar, Materazzi mencoba untuk jadi pelatih saat menangani klub Liga India, Chennaiyin FC pada 2014. Media dan publik Italia menilai saat ia menjadi pelatih, Materazzi tetap mempertahankan gaya pragmatis dan hasratnya yang tak kenal kompromi untuk meraih kemenangan.
"Ia sosok yang pandai, cerdik, licik, berpengalaman, dan masih memiliki empati," begitu ulasan sejumlah pundit sepakbola Italia soal sepak terjangnya sebagai seorang pelatih baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H