Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Humor Artikel Utama

Beda Antara Menertawakan Kemiskinan dengan Menghina Kemiskinan ala Komedi Tunggal

5 September 2018   10:01 Diperbarui: 6 September 2018   18:16 5628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seni lawak ala komedi tunggal stand up comedy jadi tren tersendiri akhir-akhir ini. Masyarakat sepertinya sudah bosan dengan seni lawak yang itu-itu saja dan coba beralih dengan menyukai seni lawak para komika - sebutan untuk orang yang melakukan stand up comedy.

Saya sendiri termasuk orang yang baru suka stand up comedy. Saya merasa stand up comedy merupakan seni lawak yang materinya sangat berisi, sangat jauh berbeda dengan seni lawak yang isinya hanya berisi materi hinaan dan aksi teatrikal tak mendidik.

Di stand up comedy, komika yang lucu menurut versi saya ialah komika yang mampu membawakan materi stand up dengan kejujuran. Kisah yang ia ceritakan saat melakukan stand up berisi kegelisahan, kegundahan, dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Set up cerita yang ia bangun tidak membuat saya jadi berpikir apakah itu sebuah rekaan atau khayalan namun memang murni terjadi oleh dirinya atau fenomena yang sering kita alami atau kita lihat di tengah masyarakat.

Set up itu kemudian menjadi lucu saat punchline yang disampaikan komika itu di luar pemikiran saya, atau mendekati.

Akhir-akhir ini saya tengah menyukai salah satu komika asal Bandung, Didi Sunardi atau yang akrab di sapa kang Didi.

Komika yang kesehariannya bekerja sebagai kuli bangunan ini bagi saya memiliki materi stand up yang sangat berbobot dan sangat lucu.

Bagaimana tidak, sebagai seorang komika, kang Didi membangun set up ceritanya dari kisah pahit yang ia rasakan sebagai seorang kuli bangunan. Punchline-nya pun sangat pecah, atau kompos gas.

Di salah satu ajang pencarian komika, SUCI 7, kang Didi membawakan materi stand up comedy dengan sangat cerdas dan penuh kejujuran.

Materinya sangat sederhana bercerita tentang susahnya kehidupan dirinya sebagai seorang kuli bangunan, mulai dari sang anak yang tak pernah ia ajak pergi ke Dufan, pusingnya ia saat liburan sekolah, kesalnya ia dengan iklan yang ada di televisi, hingga perasaannya saat sudah tenar dijuluki sebagai artis kuli bangunan.

Ada satu istilah yang sering digunakan oleh Indro Warkop, salah satu juri di SUCI 7. Om Indro mengatakan bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang berani mentertawakan dirinya sendiri. Itulah fungsi stand up, bukan menyampaikan fenomena dan kritik dengan kejujuran dan gaya lelucon.

Artinya hal miris atau kemiskinan yang coba disampaikan kang Didi lewat materi stand up-nya memiliki nilai positif bagi mereka yang mendengarnya.

Kelucuan yang disampaikan lewat kisah miris kang Didi sebagai seorang kuli bangunan memang patut ditertawakan namun tentu bukan untuk dihina. Ya, itulah yang saya lihat saat kang Didi tampil di ajang stand up comedy lainnya SUCA 4.

Para host mulai dari Uus, Arie Keriting, Gilang Dirga, dan Ayu Dewi begitu fasih untuk menghina kemiskinan kang Didi.

Hal itu diperparah saat salah satu juri Raditya Dika mengomentari gaya berpakaian kang Didi yang menurutnya justru bisa membuat penonton tak percaya bahwa ia suka makan beras miskin (materi stand up yang kang Didi bawakan).

Dari komentar Raditya Dika tersebut, keempat host dengan semangat langsung bertreatikal murahan, menurut saya, mulai dari melepas jaket yang kang Didi gunakan, menggulung lengan kaos, membuka sepatu dan menggantinya dengan sendal jepit, dan memakaikan helm tukang bangunan. Saya merasa itu menghina kemiskinan dan bukan menertawakan kemiskinan.

Maksud dari Raditya Dika sebenarnya bukan seperti itu, ia kemudian menyebut bahwa bisa saja kang Didi memberikan set up awal dulu yang menggambarkan misalnya bahwa ia tak biasa menggunakan pakaian seperti ini karena kesehariannya sebagai kuli bangunan. Fungsinya, kata Raditya Dika, ialah agar penonton bisa percaya dengan alur cerita yang disampaikan oleh kang Didi.

Sayang kemudian karena terbiasa dengan lawakan receh, para host sepertinya sangat bersemangat dengan melakukan aksi teatrikal tak mendidik.

Hal ini tentu jauh berbeda saat kang Didi tampil di SUCI 7. Ada komentar yang sangat mendidik yang disampaikan oleh Cak Lontong mulai dari kata, Miskin struktural, orang miskin tapi cara berpikir tidak miskin, dan lain sebagainya. Atau yang disampaikan oleh Padji Pragiwaksono, serta Om Indro Warkop.

Mengutip dari salah satu tulisan Kompasiana lain yang berjudul Menertawakan Kemiskinan dalam Dunia Hiburan oleh Agus Ahmad Fathullah bahwa "Miskin itu menderita, kemiskinan itu adalah musuh bangsa, maka tetaplah berusaha untuk tidak menjadi miskin".

Menertawakan kemiskinan ialah cara ampuh untuk kita belajar, dan menghina kemisikinan ialah cara kita untuk tidak mau belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun